Tangis Cinta Tuan Presiden | Sisi Lain Bung Karno

Konten [Tampil]

Tangis dan Tawa Silih Berganti Dalam Kehidupan Cinta Bung Karno 


Presiden Soekarno merupakan "presiden yang digilai wanita". Sebab, sepanjang hayatnya, ia banyak menyunting wanita Semuanya oke, ayu, cantik, atau geulis kata orang Sunda

Ketika di dalam penjara pun ia dincar wanita, apalagi sedang berkuasa. Pesonanya di mata wanita seperti tidak pernah pupus. Karena itu, ketika terpuruk dari kekuasaan dan hampir mangkat, sempat-sempatnya ia duduk di pelaminan. Tapi, siapa sangka bila Bung Karno sampai menangis karena cinta?

Presiden Soekarno, Photo via google

Walau pernah menikah dengan Oetari, adalah Inggit Garnasih, wanita pertama yang mampu  membuatnya menangis terisak di pangkuannya. Seperti diceritakan Ratna Djuami, anak angkat Inggit, ketika kepincut Fatmawati, Bung Karno juga gundah gulana. la merasa berdosa sekali kala bermaksud memadu ibu kos, yang dinikahinya semasa kuliah di Bandung itu. "Mi, Mam, maafkan Papi,  ya," ujar Bung Karno terisak bersimpuh di pangkuan Inggit.

Dalam tangisannya, Bung Karno mencoba meyakinkan Inggit untuk rela melepaskannya menikahi Fatmawati, yang tidak lain anak angkat Inggit sendiri. Bung Karno mengungkapkan keinginannya menikahi Fatmawati, karena didorong hasratnya memperoleh keturunan, yang selama ini tidak ia peroleh dari Inggit. Tentu saja sebelumnya Kusno, panggilan Inggit kepada Sukarno,  sudah 100 persen meraih hati Fatmawati. (Kala itu Bung Karno, yang terkena malaria, hidup dalam pengasingannya di Bengkulu)

Jurus klasik ini ternyata mujarab. Akhirnya Inggit menyerah juga. Tak lagi terbit keinginan Inggit melempari Bung Karno dengan perabotan rumah tangga. Padahal sebelumnya, hal itu seringkali ia lakukan ketika sang suami dituduhnya main mata dengan Fatmawati.

Sekalipun bisa menerima alasan Bung Karno, Inggit memilih tidak sudi dimadu. Karena itu, ia terpaksa "menceraikan" suaminya untuk kemudian pulang ke Bandung. Dengan mata pedih, Bung Karno yang kemudian menjadi Presiden RI itu mengantarkan Inggit pulang kembali ke kampung halamannya. Selepas dari Inggit, kehidupan Bung Karno sulit dikendalikan.

Nama kondangnya terus melambung. Fatmawati, yang dinikahinya lewat nikah wali dalam usia 20, ternyata tidak mampu membendung gejolak asmaranya. Kelahiran Guntur Sukarnoputra tidak juga mampu menghentikan langkahnya menebar cinta. Begitu pula setelah Fatmawati berturut-turut menghadiahinya putra-putri: Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh.

Sejarah mencatat, Bung Karno akhirnya merajut asmara dengan Hartini, janda beranak lima. Wanita ayu tersebut, yang saat itu berumur 29, lalu dinikahinya.

Fatmawati kecewa berat. la kemudian membopong kelima anaknya keluar dari Istana Negara menuju rumah mereka di Jalan Sriwijaya, Jakarta. Sekalipun sedang kasmaran dengan wanita baru, kesedihan Bung Karno ditinggal Fatmawati dan anak-anaknya tidak langsung pupus. Tampaknya, nama Fatmawati sudah terpatri khusus di lubuk hati sang proklamator. Ini diakui sendiri oleh Guruh Sukarnoputra. la menyebutkan, cinta sang ayah kepada ibunya tidak pernah pudar dengan perpisahan mereka. Namun, bagi Bung Karno, "tangis dan tawa" kemudian menjadi hal yang sangat biasa.

Dalam kegetiran ditinggal Fatmawati, misalnya, ia tetap tidak kuasa melihat kemolekan dua wanita lain bernama Ratna Sari Dewi dan Haryati. Keduanya datang dari kalangan rakvat biasa. Ratna Sari Dewi yang berdarah Jepang, adalah mantan geisha. Sedangkan Haryati, penari istana asal Surabaya. Pada awalnya, Sukarno hanya melihat Haryati sebagai bocah ayu yang kebetulan menjadi staf kesenian Istana Negara. Kesukaannya menari juga biasa-biasa saja.

Dalam bukunya, The Hidden Story, Haryati Sukarno menceritakan bagaimana kikuknya ia pertama kali menari Menakjinggo di hadapan Bung Karno. "Pikiranku tidak tenang, tidak ingat lagi apakah gerakanku benar semua atau salah," katanya.

Namun, Sukarno terus memberikan semangat sambil tidak henti hentinya memuji kepintarannya menari. Order menari pun mulai membanjir. Kadangkala ia diminta menari mendadak. Suatu saat, untuk menyambut kedatangan Putra Mahkota Kaisar  Jepang Akihito dan Permaisuri Michiko, Haryati diminta menari di Istana Bogor. Di sanalah pertama kali ia berpapasan dengan Hartini.

Api cemburu tampaknya mampu membakar dada Haryati. Mungkin karena itu tariannya sempat ngawur. Tiba-tiba saja ia lupa semua gerakan tarinya. Untung tamu negara yang hadir tidak menyadari kesalahanya tadi. Jadi ia terus menari. "Pokoknya kuisi gerakan apa saja" ujar Haryati.

Rupanya, diam-diam Sukarno kesemsem padanya. Bahkan ia menduga, Sukarno telah berterus terang kepada Hartini tentang keberadaan dirinya. "Bu Hartini sudah ngerti, lo bisik seorang teman kepadanya.

Haryati ternyata tidak ge-er (gede rasa). Sebab, cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Terbukti, pada 21 Mei 1963, pukul 8 malam, Bung Karno resmi menikahinya lewat KUA Gambir.

Seperti terhadap madu-madunya terdahulu, Haryati juga merasakan jurus cinta Bung Karno yang tidak jauh berbeda. Dalam hampir setiap kesempatan, Sukarno selalu memuji wanita idamannya. Yang dipuji pun lalu salah tingkah dan berbunga.

Soal puji-memuji ini menjadi kemahiran Bung Karno. la juga tidak segan-segan memanjakan pujaannya dengan atensi kecil, namun sangat bermakna. Sukarno, misalnya, pernah mengirimi tulisan pada selembar foto Haryati. "Inilah sekadar gambar daripada apa yang selalu terkandung dalam sukmaku," rayu Sukarno. Dalam setiap kepala suratnya, Bung Karno selalu menyapa Haryati dengan sebutan mesra, seperti "wong ayuku'", "cintaku". Tidak lupa ia menorehkan kata-kata pendek, seperti "kangen"', pada bagian penutup surat.

Bila disimak lebih jauh, jurus maut rayuan Bung Karno tidak jauh dari romantism bagaimana membuat wanita yang dikecewakan sekalipun masih bisa menyapanya dengan kata "sayang". Selain kepada Haryati, surat-surat senada juga dikirimkan Sukarno kepada sejumlah wanita. Setidaknya, ada empat wanita lainnya yang dibombardir rayuan Sukarno. Mereka adalah Ratna Sari Dewi, Yurike Sanger, Kartini Manoppo, dan Heldy Djafar. Mereka juga akhirnya dinikahi resmi.

Heldy Djafar, yang ketika itu berumur 18 tahun, dinikahi Bung Karno pada tahun 1966. Saat itu Bung Karno sudah berusia 65 tahun dan sedang terpuruk-terpuruknya. Sukmawati Sukarnoputri menilai, inspirasi sang ayah kerap muncul dari wanita. Wanita dinilai sumber kekuatan Bung Karno sehari-hari. Jadi, Sukma tidak heran melihat ayahnya dekat dengan sejumlah wanita.

Yang jelas, dari sembilan wanita yang dinikahinya, Sukarno hanya pernah menangisi cintanya kepada tiga wanita, yakni Inggit, Fatmawati, dan Hartini. Tangis Bung Karno kepada Hartini dikarenakan ketabahan sang istri dalam mendampinginya. Hartini tidak menolak praktek poligami Sukarno, seperti yang diperlihatkan Inggit dan Fatmawati. la bertekad menemani Bung Karno sampai pada detik-detik kejatuhannya, bahkan ketika ajalnya tiba sekalipun. Wisma Yaso mungkin bisa menjadi saksi keutuhan Hartini saat mendampingi Bung Karno.

Hampir setiap hari Bapak menangis," kata Hartini. Tangis sang suami dinilai Hartini lebih karena tekanan psikologisnya pada saat itu. Bung Karno merasa benar-benar tidak dihormati rakyat Indonesia, yang telah diberinya kemerdekaan. Saya pernah dipenjara kaum kolonial, tetapi orang Belanda masih menghormati saya," keluh Bung Karno kepada Hartini. Di saat-saat seperti itu Hartini lebih banyak menjadi tempat 'curhat Bung Karno.

Kehidupan cinta Sukarno yang penuh warna tampaknya lebih banyak membawa kegetiran daripada kesenangan. Romantismenya juga berakhir hambar. Mungkin karena itu ia meminta anak lelakinya agar menjauhi poligami. Ia sudah membuktikannya sendiri. Sebagian kegetiran itu ia ungkapkan lewat tangisan cinta.

Ditulis dari Majalah Matra No.180, Juli 2001

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak