Nicolaas Jouwe, Pencipta Bendera Bintang Kejora Yang Kembali ke Pangkuan NKRI

Konten [Tampil]
Menyikapi kondisi di tanah Papua yang sedang terluka karena isu rasisme dan ditunggangi kepentingan politik oleh pihak pihak yang berambisi memisahkan Papua dari NKRI, sedih rasanya. Dalam postingan ini Mas Adi sajikan sebuah tulisan di detik.com tentang kisah Bapak Nicolaas Jouwe, seorang tokoh yang pertama kali  membuat Bendera Bintang Kejora yang akhirnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi di akhir hayatnya.

Nicolaas Jouwe, Pencipta Bendera Bintang Kejora
Foto: Nicolaas Jouwe cium tanah Papua di Bandara Sentani (akun YouTube elskes)

Pria renta itu berkalungkan bunga, memakai topi fedora, tegak berdiri di Bandara Sentani, Papua. Kemudian Ia melepaskan tongkat penopang dari tangan, Beliau membungkuk dan kemudian tengkurap dan mencium tanah Papua, melepaskan segenap kerinduannya setelah berpuluh tahun meninggalkan tanah Papua, sekaligus  menghancurkan sumpah untuk tidak kembali lagi ke Papua sejak dia pergi ke Belanda pada tahun 1963

Ya, Beliau adalah Nicolaas Jouwe, sosok paling penting di balik bendera kontroversial dari Bumi Cenderawasih, yakni Bendera Bintang Kejora, atau sering juga disebut sebagai Bendera Bintang Fajar (Morning Star Flag).

" Saya lah yang membuat Bendera Bintang kejora yang pertama kali dikibarkan pada 1 Desember 1961," kata Nicolaas dalam bukunya, 'Kembali ke Indonesia: Langkah, Pemikiran, dan Keinginan'.

Nicolaas Jouwe, dilahirkan di Hollandia (saat ini Jayapura) pada tanggal 24 November 1924 silam. Garis tangannya membawanya menjadi tentara meski Beliau tak pernah ingin jadi tentara. Garis tangan pula yang membawanya menjadi salah satu tokoh paling disegani di Papua di masa silam meski Beliau mengaku tak menginginkan sebutan itu.

Nicolaas merupakan alumni sekolah pamong praja di Jayapura yang didirikan Residen Belanda, Jan Pieter Karel van Eechoud. Sekolah tersebut didirikan oleh van Eechoud pada tahun 1944, termasuk juga sekolah polisi. Atas jasanya mendidik orang Papua, van Eechoud mendapatkan julukan Bapak Orang Papua.

Melalui sekolah itulah lahirlah kelas elite terdidik Papua yang kemudian mewarnai pergerakan politik, baik yang pro-kemerdekaan maupun yang pro-Indonesia. Selain Nicolaas, ada nama Frans Kasiepo, Markus Kasiepo, Silas Papare, Elieser Jan Bonay, Lukas Roemkorem, hingga Abdullah Arfan. Nama-nama tersebut merupakan alumni sekolah yang didirkan van Eechoud.

Dijelaskan Jon RG Djopari dalam bukunya, 'Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka', elite terdidik Papua kemudian pecah menjadi tiga orientasi politik:

  • Pro-Papua merdeka pro-Belanda. 
  • pro-Papua merdeka anti-Belanda.
  • Pro-Indonesia. 

Nicolaas Jouwe digolongkan sebagai pro-Papua merdeka yang kooperatif dengan Belanda.

Sebenarnya, Nicolaas Jouwe sempat ikut dalam Komite Indonesia Merdeka (KIM) bentukan Dr JA Gerungan di Hollandia pada tahun 1945. Namun Nicolaas Jouwe merasa kecewa saat KIM berubah menjadi Partai Indonesia Merdeka (PIM), apalagi saat konferensi Denpasar pada tahun 1946 tak menyertakan wakil dari Papua. Konferensi itu sendiri menghasilkan Negara Indonesia Timur, pihak Indonesia menyebut itu adalah karya politik pecah belah divide et impera Belanda.

Belakangan, Nicolaas Jouwe berubah menjadi seorang pemimpin Papua yang anti-Indonesia. Jouwe kemudian ikut dalam aktivitas Gerakan Persatuan Nieuw Guinea yang dibentuk oleh Belanda untuk menentang pengaruh Indonesia. Mulai dari sini, nasionalisme Papua dibentuk.

Pada masa pemerintah Belanda, kawasan yang kini disebut sebagai Papua bagian Indonesia bernama Nederland Nieuw Guinea (Nugini Belanda). Nicolaas terpilih menjadi wakil presiden Dewan Nugini (Nieuw Guinea Raad), mendampingi presiden bernama Frits Sollewijn Gelpke, seorang pegawai negeri Belanda. Saat itu Nicolaas berjuang agar semua pihak menghormati hak-hak orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa merdeka.

Bendera Bintang Kejora dibikinnya, bercorak 13 garis biru dan putih horisontal, angka itu melambangkan jumlah rencana kawasan yang akan dikembangkan. Adapun gambar bintang adalah simbol cita-cita. Nicolaas lewat buku karya Danilyn Rutheford menyatakan bintang itu bermakna pengharapan, salah satu elemen dalam kebajikan Kristiani yakni iman, kasih, dan pengharapan.

Ada pula yang menafsirkan bintang kejora dengan mitos Manarmakeri dari Biak. Manarmakeri dikisahkan menderita penyakit kudis yang membuat dia dikucilkan dari kampungya. Manarmakeri bertemu dengan Sampari (bintang pagi/bintang kejora) yang penuh kesaktian. Mitos soal Manarmakeri ini juga berhubungan dengan Koreri, keadaan hidup sejahtera dan abadi. Suatu saat Manarmakeri akan kembali ke kampungnya membawa Koreri. Koreri sendiri menjadi gerakan mesianisme. Hal ini dijelaskan dalam catatan kaki 'Papua Road Map' karya Muridan dan kawan-kawan.

Setelah Bintang Kejora karya Nicolaas terpilih menjadi bendera Papua Barat, maka pada 1 Desember 1961, bendera itu dikibarkan di samping Bendera Belanda untuk pertama kalinya. Kelak, tanggal itu akan diperingati sebagai berdirinya Negara Papua Barat yang diakui otoritas Belanda.

Proses politik berlanjut melewati Perjanjian New York. Papua akan diserahkan Belanda ke Indonesia melalui lembaga PBB bernama UNTEA. Setelah Papua diserahkan ke UNTEA pada Oktober 1962 dan enam bulan kemudian diserahkan ke Indonesia, Jouwe meninggalkan Papua dan pergi ke Belanda.

Dia menetap di kota Delft, bersumpah tak akan pernah kembali ke tanah kelahirannya jika masih diduduki oleh Indonesia. Adapun gerakan melawan Indonesia di Papua terus berlanjut saat Nicolaas tinggal di Belanda. Nama Nicolaas diusulkan oleh 'Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Negara Papua Barat', cikal bakal OPM, sebagai wakil presiden yang mendampingi presiden Markus Kaisiepo. Nicolaas yang berada di Belanda yang semula ragu kemudian berhasil diyakinkan soal perjuangan di Papua Barat (kawasan yang sekarang disebut sebagai Provinsi Papua dan Papua Barat, Indonesia)

Hingga 2008, Jouwe masih menegaskan sikap untuk tak kembali ke Papua yang menjadi wilayah Indonesia. Hingga menginjak 2009, ada surat dari Indonesia yang sampai ke Den Haag. Surat itu berasal dari Presiden ke-7 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) khusus untuk Nicolaas. Sebagaimana diceritakan Nicolaas dalam bukunya, surat itu dibawa oleh delegasi Fabiola Ohei, Ondofolo (Kepala Adat) Frans Albert Yoku, Nicolas Simeon MEset, pilot putra Papua lulusan ITB, dan Pendeta Adolf Hanasbey. Semua orang itu mendatangi Nicolaas khusus untuk mengantarkan surat dari SBY. Isi surat itu adalah ajakan SBY kepada Nicolaas untuk pulang ke Tanah Air.

"Saya menilai surati ini ditulis halus sekali, sebuah undangan yang bagus, dan saya merasakan bahwa surat ini ditulis dengan hati dan tulus. Surat ini ditulis bukan dengan otak tapi dengan hati. Tuhan Yesus bersabda: Percayalah dengan hati, jangan dengan otak," kata Nicolaas.

Dia tersentuh oleh surat itu dan segera ingat ayat Injil, bahwa yang lembut hatinya akan mewarisi bumi. Nicolaas kemudian melangkah menemui Duta Besar RI di Belanda saat itu, Fanie Habibie dan segera akrab sambil bertukar pantun dalam Bahasa Ambon.

Segera terbayang masa lalu perjuangannya memerdekakan Papua dari Indonesia. Kali ini bayangan itu tak disertai heroisme. "Saya telah menyadari bahwa yang diperjuangkan selama ini merupakan pilihan yang salah. Kini saya melihat bahwa perhatian pemerintah Indonesia dan kondisi politik sudah berbeda terhadap Papua," kata dia.

"Saya akan kembali selama-lamanya di Papua, Indonesia. Sekali Indonesia merdeka, tetap merdeka," kata salah satu tokoh utama dalam sejarah OPM ini. Nicolaas akhirnya berangkat ke Jakarta dan melanjutkan terbang ke Papua di usianya yang ke-85 tahun. "Saya mesti pulang, pulang dengan hati gembira."

Dia bertekad untuk membaktikan sisa hidupnya untuk kemajuan tanah kelahiran. Nicolaas tutup usia pada 16 September 2017 pada usia 93 tahun di Tanah Air dalam kondisi sudah menjadi Warga Negara Indonesia, dan telah mendapat penghargaan dari Presiden SBY berupa Bintang Jasa Nararya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak