Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang & Gugurnya Dr.Karyadi

Konten [Tampil]
Pertempuran Lima Hari di Semarang pada tanggal 15-20 Oktober 1945 merupakan pertempuran besar antara pihak kita (pasukan BKR/TKR, pemuda, rakyat) melawan pasukan Jepang pada awal masa kemerdekaan sebelum kedatangan pasukan Sekutu, Setelah Proklamasi Kemerdekaan didengungkan pada tanggal 17 Agustus 1945, di kota Semarang segera dibentuk Pemerintah Daerah Jawa Tengah yang dikepalai oleh Mr. Wongsonegoro pada tanggal 19 Agustus 1945.

Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang & Gugurnya Dr.Karyadi


Sedangkan para pemuda yang tergabung dalam perkumpulan-perkumpulan pemuda, seperti AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia), AMKA (Angkatan Muda Kereta Api), dan Angkatan Muda Taman Siswa, bersama dengan BKR (Badan Keamanan Rakyat) Semarang, segera melucuti senjata-senjata pasukan Jepang dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Selain itu para pemuda Juga menawan orang-orang Jepang yang tidak mau tunduk kepada Pemerintah R.I. dan yang melanggar peraturan. Orang-orang Jepang tersebut ditawan di penjara Bulu dan di Sekolah Pelayaran.

Kejadian yang mendahului Pertempuran Lima Hari adalah pemberontakan yang dilakukan oleh lebih kurang 400 orang tawanan Jepang di Sekolah Pelayaran. Mereka adalah veteran Angkatan Laut Jepang yang dipekerjakan di Pabrik Gula Cepiring yang akan diubah menjadi pabrik senjata. Pada tanggal 14 Oktober 1945 malam, ketika akan dipindahkan ke tempat lain, mereka memberontak dan menyerang anggota-anggota Polisi Istimewa yang menjaganya. Sebagian dari para tawanan Jepang itu dapat melarikan diri dan bergabung dengan pasukan Kido Butai (Batalyon yang dipimpin oleh Mayor Kido) yang bermarkas di Jatingaleh.

Peristiwa Meninggalnya Dr.Karyadi


Pada tanggal 14 Oktober 1945 malam, pasukan Batalyon Kido merencanakan serangan kilat dari Jatingaleh, dengan tujuan menguasai kota Semarang, melucuti senjata para pemuda, dan membebaskan orang-orang Jepang yang ditawan. Tentu saja BKR dan Angkatan Muda Semarang tidak mau menyerahkan senjata-senjata mereka kepada Jepang dan akan melawan serta mempertahankan kota Semarang, Lebih-lebih pihak Jepang akan menyerahkan Kota Semarang kepada pihak Sekutu yang sudah mengalahkannya.

Dalam suasana yang genting pada saat itu, tersiar berita bahwa beberapa orang Jepang telah melucuti senjata anggota-anggota Polisi Istimewa R.I. yang menjaga tandon atau persediaan (reservoir) air minum di Jalan Wungkal (Siranda) dan kemudian meracuni persediaan air minum tersebut.

Berita peracunan air tersebut menggelisahkan penduduk Kota Semarang. Dr. Karyadi, yang menjabat Kepala Laboratorium, Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara) segera bertindak untuk menyelidiki kebenaran berita tersebut.

Karena rasa tanggungjawabnya yang besar Dr. Karyadi berangkat dengan mobil memeriksa reservoir air minum,. Tetapi mobil yang ditumpanginya dicegat pasukan Jepang di Jalan Pandanaran pada tanggal 14 Oktober 1945 malam, dan ia bersama sopirnya ditembak oleh pasukan Jepang.

Dalam keadaan luka parah ia dibawa ke Rumah Sakit Purusara (sekarang Rumah Sakit Dr. Karyadi), tetapi jiwanya tidak tertolong, Dr. Karyadi meninggal di Rumah Sakit pada jam 23.30 malam. Beliau  adalah seorang pemimpin bangsa Indonesia yang pertama-tama gugur karena keganasan pasukan Jepang di Semarang pada awal Pertempuran Lima Hari.

Pada tanggal 15 Oktober 1945 pagi menjelang subuh pasukan Kido Butai mulai melancarkan serangannya, dengan mendapatkan bantuan dari Batalyon Yagi yang baru singgah di Jatingaleh dari medan perang Irian. Dari Jatingaleh mereka bergerak melalui Jomblang dan Candi ke jurusan Jalan Pandanaran.

Serangan Jepang ini mendapat perlawanan yang sengit dari para pemuda Semarang yang tergabung dalam AMRI, AMKA, Angkatan Muda Taman Siswa, pasukan BKR. Pemuda-pemuda dari daerah-daerah dan kampung-kampung vang membentuk perlawanan sendiri-sendiri ketika pasukan Jepang menyerang kampung-kampung mereka. Pertempuran Gedung Justisi, sekarang di depannya berdiri Monumen Tugu Muda). Pasukan Jepang setelah menguasai Markas Polisi Istimewa di Kalisari berusaha untuk menguasai gedung Kempetai dan gedung Lawang Sewu (gedung NIS) yang menjadi
markas pemuda-pemuda AMKA (Angkatan Muda Kereta Api). Setelah berhasil menguasai gedung Kempetai, mereka melakukan penembakan-penembakan yang gencar terhadap gedung Lawang Sewu yang dipertahankan oleh pemuda-pemuda AMKA dengan mendapat bantuan dari BKR dan Polisi Istimewa.

Persenjataan pasukan Jepang lebih lengkap dan modern, karena itu gedung Lawang Sewu (NIS) terpaksa ditinggalkan oleh para pemuda. Pasukan Jepang terus melewati Jalan Bojong (Jalan Pemuda) dan Jalan Imam Bonjol, sehingga terjadi pertempuran di Gedong Jero, markas pemuda-pemuda AMRI. Tetapi pasukan Jepang tidak berani memasuki wilayah Kampung Pendrikan (sekarang Jalan Nakula, Jalan Indraprasta, dan lain-lain) yang dipertahankan oleh pemuda-pemuda dengan gigih.

Pada tanggal 16 Oktober 1945, pasukan Jepang mendatangkan bala bantuan dan mempersenjatai orang-orang sipil Jepang yang baru saja dibebaskan dari tawanan untuk membantu pasukannya.

Pertempuran sengit terjadi di seluruh kota. Suatu pertempuran yang hebat terjadi di muka Hotel Du Pavillon (sekarang Hotel Dibya Puri) dan daerah Pasar Johar. Hotel Du Pavillon dipertahankan oleh pemuda-pemuda AMRI dan BKR' Pasukan Jepang menyerang dari jurusan Kauman, jalan Kranggan (sekarang Jl. K.H. Wahid Hasyim) dan Jalan Duwet (sekarang JI Gajah Mada). Akhirnya para pemuda terpaksa meninggalkan Hotel Du Pavillon karena kehabisan peluru

Pasukan Jepang melakukan keganasan di luar batas dengan menyiksa dan membunuh pemuda-pemuda yang dijumpainya atau ditawannya. Banyak pemuda diburuh dengan pedang atau ditembak,dan mayatnya dibiarkan terlentang di jalan-jalan. Sekelompok orang Jepang juga menyerbu sebuah hotel di jalan Bojong dekat kantor cabang "Antara", kemudian membunuh pemilik dan semua penghuni hotel tersebut yang berjumlah 15 orang. Juga di Kampung Batik dan Kampung Jaksa, sekelompok orang Jepang pada tanggal 17 Oktober malam telah membakar habis seluruh rumah di kedua kampung itu,

Suatu kejadian dalam Pertempuran Lima Hari yang menunjukkan pembalasan dari para pemuda terhadap keganasan serdadu-serdadu Jepang, ialah peristiwa pembunuhan tawanan Jepang yang ditawan di Rumah Penjara Bulu pada tanggal 15 Oktober malam. Beberapa pemuda anak buah Shodanco Bisoro yang gugur dengan anak buahnya disiksa Jepang di daerah Mugas, telah mendatangi penjara Bulu untuk membalas dendam dengan menembaki orang-orang Jepang yang berada di sel-sel tahanan. Lebih kurang 130 orang Jepang telah tewas.

Kejadian pembunuhan terhadap orang-orang Jepang ini telah sangat mengejutkan pimpinan pasukan Jepang yang mengkhawatirkan nasib orang-orang Jepang lainnya yang ditawan pihak Indonesia di kota-kota lain. Karena itu mereka kemudian bersedia untuk berunding dengan Mr.Wongsonegoro guna mengusahakan gencatan senjata agar teman-teman mereka selamat. Dalam hubungan ini dapat disebutkan bahwa Mr. Wongsonegoro telah ditawan oleh pasukan Kido Butai pada awal pertempuran (tanggal 15 Oktober 1945) ketika gedung Balai Kota di Jalan Bojong diduduki oleh pasukan Jepang. Mr.Wongsonegoro bersama Dr. Sukardjo kemudian ditawan di markas Kido Butai di Jatingaleh. .

Mr. Wongsonegoro kemudian dibawa oleh pasukan Jepang ke penjara Bulu untuk melihat keganasan" orang-orang Indonesia dan di sana ia hampir saja dibunuh oleh Jepang. Setelah itu ia dikembalikan ke Jatingaleh. Dengan ditawannya Mr. Wongsonegoro. pihak Jepang dapat mengancam dan mendesak untuk diadakan perundingan gencatan senjata, Dalam perundingan itu, Mr. Wongsonegoro bersedia untuk menjamin keselamatan orang-orang Jepang yang ditawan pihak R.I) di kota-kota lain, tetapi menolak setiap permintaan pihak Jepang agar para pemuda menyerahkan senjata mereka kepada Jepang. Meskipun begitu, Mr. Wongsonegoro mengeluarkan Maklumat pada tanggal 17 Oktober 1945 yang menyerukan para pemuda untuk menghentikan permusuhan. Tetapi pernyataan ini tidak diindahkan oleh para pemuda yang terus bertempur mempertahankan diri, sedang pihak Jepang tetap melanjutkan serangannya terhadap kedudukan para pemuda. Pada tanggal 19 Oktober 1945 pasukan Jepang memang telah dapat menguasai hampir seluruh Kota Semarang, namun semangat bertempur para pemuda kita tidak kunjung padam. Di samping itu para pemuda dan pasukan BKR tetap melakukan perlawanan dan menyusun kekuatan di pinggiran Kota Semarang untuk melancarkan serangan balasan sewaktu-waktu, Sementara itu selama pertempuran berlangsung, telah mengalir bala-bantuan pasukan dan pemuda-pemuda dari kota-kota lain di Jawa Tengah. Bala bantuan itu antara lain adalah:

  • Dari arah timur, bala bantuan membanjir datang dari daerah Genuk, Demak, Pati, Cepu, dan daerah sekitarnya.
  • Dari arah tenggara dan selatan. datang bala-bantuan dari Purwodadi, Sala, Yogya, Magelang, Salatiga, Ambarawa, dan Banyumas;
  • Dari arah barat, datang bala-bantuan dari Kendal, Pekalongan, Purwokerto, dan sekitarnya.

Sementara itu perundingan dilanjutkan antara Mr.Wongsonegoro dengan pimpinan pasukan Jepang, meskipun Mr. Wongsonegoro berada dalam ancaman Jepang. Pada tanggal 19 Oktober 1945 siang telah tiba di Semarang perutusan Pemerintah Pusat R.I. dari Jakarta, terdiri dari Mr.Sartono, Mr.Kasiman Singodimedjo. Dr. Kodiat, dan Susilodikusumo, bersama dengan Komandan Tertinggi pasukan Jepang Jenderal Nomura. Dalam perundingan yang kemudian diadakan, akhirnya dapat dicapai persetujuan. Atas desakan dan ancaman pihak Jepang, Mr. Wongsonegoro bersedia menandatangani perintah gencatan senjata yang antara lain memuat ketentuan bahwa senjata yang ada di tangan pihak Indonesia harus dikembalikan kepada Jepang

Meskipun ketentuan itu pasti tidak akan ditaati oleh para pemuda, kejadian-kejadian yang menyusul telah membuat persetujuan gencatan senjata dengan pihak Jepang itu tidak berlaku. Keesokan harinya, tanggal 19 Oktober 1945. pukul 07.45 pagi, telah mendarat di Semarang pasukan Sekutu di bawah komando Brigadir Jenderal Bethel dengan kapal Glenroy. Kedatangan pasukan Sekutu tersebut telah menghentikan Pertempuran Lima Hari, oleh karena sejak saat itu tanggungjawab keamanan diambil alih dari pasukan Jepang oleh pasukan Sekutu.

Selama Pertempuran Lima Hari, korban yang jatuh pada pihak Indonesia kurang lebih berjumlah 2000 orang pemuda dan rakyat yang gugur sebagai kusuma bangsa, sedangkan penduduk yang kehilangan harta benda dan rumah yang hancur tidak ternilai harganya. Pada pihak Jepang. yang mempunyai persenjataan yang lebih lengkap dan pengalaman perang melawan Sekutu, telah jatuh korban kurang lebih 950 orang tewas. Darah para pemuda dan rakyat kotā Semarang telah menyiram bumi pertiwi demi kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia tercinta.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak