Pangeran Diponegoro, Serangan Belanda Ke Selarong

Konten [Tampil]


Bagian sebelumnya: Pangeran Diponegoro, Pembagian Tugas Perlawanan Melawan Kolonial Belanda

Serangan Belanda ke Selarong

Pada 2 Oktober dan 4 Oktober 1825, secara tiba-tiba Belanda melakukan serangan umum ke Selarong , akan tetapi Selarong didapati kosong, ternyata pasukan Diponegoro telah memindahkan markas besarnya ke Dekso, sebelah barat laut Yogyakarta.  Untuk sementara, para putri keluarga Diponegoro  yang semula mengungsi ke Dekso dipindahkan ke Suwela, daerah sebelah utara Dekso.

Pangeran Diponegoro Ditangkap
Peristiwa ditangkapanya Pangeran Diponegoro dalam suatu perjanjian yang diingkari oleh Belanda, dituangkan dalam lukisan Raden Saleh

Di markas baru ini, Diponegoro mengangkat lagi pemimpin-pemimpin pasukan untuk memperkuat barisan. Prajurit Panilih dipimpin oleh Raden Dullah Prawirodirio (terkenal dengan Sentot Alibasah Prawirodirio), prajurit Surojo dipimpin oleh Absungeb.  Prajurit Bulkiya dipimpin oleh Haji Muh. Usman Alibasah dan Haji Abdulkadir.  Tumenggung Mertoloyo memimpin prajurit Mundungan.

Prajurit Mantrirejo dipimpin oleh Tumenggung Puthut Lawa, dengan tugas mengawal Pangeran Diponegoro dan memberi bantuan kepada kesatuan-kesatuan yang membutuhkannya. Prajurit Suryagama atau prajurit kaji di bawah pimpinan Dullah kaji Bakdarudin.

Prajurit Suronoto dipimpin oleh Sarip Samparwadi. Kiai Maja memimpin satu pasukan.
Pangeran Bei memimpin prajurit Jogosuro. Pangeran Mangkubumi memimpin prajurit Jagakarya, dengan tugas mengawal para putri. Tumenggung Kertopengalasan harus mempertahankan daerah Kulon Progo, dengan bantuan Haji Ngingso dan Haji Ibrahim. Tumenggung Joyonegoro mempertahankan daerah Yogya selatan.

Imogiri harus dipertahankan oleh Syeh Kaji Muda dengan bantuan Raden Reksokusumo. Pertahanan Yogya sebelah timur diserahkan pada Tumenggung Suronegoro. Probolinggo harus dipertahankan oleh Raden Joyopenoto. Daerah Begelen menjadi tugas Pangeran Ontowiryo dengan didampingi oleh sembilan orang basah dan 10 orang Tumenggung. Basah, Tumenggung dan Dullah adalah nama pangkat dalam keprajuritan.

Pangeran terus berjalan. Gunung Kidul di bawah pimpinan Pangeran Singosari jatuh, Pangeran Singosari mundur dan bergabung dengan Syeh Dullah Kaji Muda Imogiri. Prajurit Bulkiya segera datang membantu, maka dalam pertempuran sengit yang dipimpin oleh Haji Usman Alibasah, pasukan Belanda dapat dipukul mundur.

Benteng Belanda di Prambanan diserang oleh Tumenggung Suronegoro dan berhasil memukul mundur pasukan Hindia Belanda. Di daerah Plered pertahanan pasukan Diponegoro cukup kuat. Pimpinan pasukan antara lain dipegang oleh Kertopengalasan. Pertahanan ini pada tanggal 16 April 1826 mendapat serangan dari pasukan Hindia Belanda di bawah seorang jenderal, namun tetap dapat bertahan. Serangan Belanda untuk kedua kalinya atas Plered di bawah pimpinan seorang kolonel, pada tanggal 9 Juni 1826, yang dibantu oleh pasukan dari Mangkunegoro juga tidak berhasil mematahkan pertahanan Kertopengalasan.

Di daerah pertempuran lain pasukan Alibasah Sentot Prawirodirjo, salah seorang pemimpin ulung Pasukan Diponegoro pada tanggal 28 Juli 1826 telah berhasil melakukan penyerangan terhadap pasukan musuh di Kasuran. Pasukan di bawah Diponegoro sendiri pada tanggal 9 Agustus 1826 telah pula berhasil memukul sebuah pasukan Belanda.

Sementara itu pertempuran sengit yang terjadi pada tanggal 30 Juli 1826 di dekat Lengkong membawa akibat tewasnya seorang letnan Belanda dan dua orang wali dari Sultan Hamengku Buwono V, ialah Pangeran Murdaningrat dan Pangeran Panular. Menurut surat Pangeran Mangku bumi kepada Sultan Hamengku Buwono II, yang sejak tanggal 17 Agustus 1826 diangkat kembali menjadi raja, disebutkan bahwa kedua pangeran tersebut gugur bukan karena kesalahan pihak Diponegoro, tetapi karena mereka ikut serta dalam pasukan Belanda memerangi pasukan Diponegoro.

Sementara itu dalam pertempuran yang terjadi di daerah Delanggu pada tanggal 28 Agustus 1826, pasukan Diponegoro berhasil mendesak pasukan musuh dan menduduki daerah tersebut.

Strategi Benteng Stelsel


Kesulitan-kesulitan yang dialami selama periode perang 1825-1826 telah mendorong pimpinan militer Belanda untuk menggunakan siasat baru, ialah Benteng Stelsel atau Sistem Benteng. Sistem ini mulai dilaksanakan Jenderal de Kock dalam periode perang sejak 1827.

Tujuan dari Benteng Stelsel adalah untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro dengan jalan mendirikan pusat-pusat pertahanan berupa benteng-benteng di daerah-daerah yang telah dikuasai oleh Belanda. Pelaksanaan Benteng Stelsel untuk mengadakan tekanan pada Diponegoro agar bersedia untuk segera menghentikan perlawanan. Suatu hal yang sangat dirasakan oleh pihak Belanda ialah pembiayaan yang cukup besar untuk mengadakan perang itu.

Perundingan demi perundingan yang gagal

Untuk mempercepat selesainya perang, Belanda juga berusaha untuk mendekati pemimpin-pemimpin pasukan Diponegoro. pada tanggal 9 Agustus 1827 Belanda mencoba untuk melunakkan pendiriannya. Pendekatan dilanjutkan dengan diadakannya perundingan pada tanggal 23 Agustus 1827 di Cirian, daerah Klaten. Dalam perundingan ini pihak Diponegoro diwakili oleh Kyai Maja dan Pangeran Ngabei Abdulrahman, namun usaha perdamaian tidak membawa hasil.

Karena kegagalan dalam perundingan itu pasukan-pasukan Diponegoro makin giat melakukan  perlawanan.

Suatu hal yang menyebabkan makin lemahnya pasukan-pasukan Diponegoro adalah meningkatnya jumlah pemimpin-pemimpin pasukan yang tertangkap oleh Belanda. Pangeran Suryomataram dan Ario Prangwadono telah tertangkap pada tanggal 19 Januari 1827, sedang Pangeran Serang dan Pangeran Notoprojo tertangkap pada tanggal 21 Juni 1827. Penyerahan kedua pangeran ini diikuti oleh anggota pasukan sebanyak 850 orang.

Usaha Belanda untuk mengadakan perundingan pada tanggal 10 Oktober 1827 dengan pihak Diponegoro juga tidak membawa hasil. Wakil pihak Diponegoro dalam perundingan itu, Tumenggung Mangunprawiro, menolak anjuran dari wakil Belanda untuk menyerah. Kegagalan dalam perundingan ini membawa akibat berkobarnya pertempuran lagi. Markas Diponegoro yang berada di Banyumeneng pada tanggal 25 Oktober 1827 mendapat serangan dari pasukan Belanda. Sebaliknya pasukan pihak Diponegoro yang berada di daerah-daerah lain melakukan serangan terhadap pos-pos Belanda. Dengan pimpinan Raden Tumenggung Ario Sosrodioogo.

pada tanggal 28 November 1827, rakyat Rembang mengadakan perlawanan terhadap Belanda di Rajegwesi. Sebuah pasukan rakyat yang memihak Diponegoro pada tanggal 5 Desember 1827 berhasil menduduki Padangan dan selanjutnya bergerak ke Kota Ngawi.

Perlawanan rakyat di daerah Tuban pada tanggal 16 Desember 1827 cukup berat bagi Belanda, sehingga untuk menghadapinya Belanda terpaksa mendatangkan bantuan pasukan dari daerah lain. Baru pada tanggal 7 Maret 1827 perlawanan rakyat Rembang dapat dipatahkan. Sampai dengan taraf demikian Belanda masih belum dapat mematahkan kekuatan militer Diponegoro.

Kota Magelang yang terletak di tengah-tengah daerah perang, oleh de Kock dijadikan pusat kekuatan militernya. Kekuatan yang terdiri dari pasukan-pasukan Sultan, Pakualam dan Mangkunegoro oleh Belanda digunakan untuk menghalang-halangi gerakan pasukan inti Diponegoro ke arah timur, sedang pasukan Belanda yang bermarkas di Magelang digunakan untuk menutup jalan yang menghubungkan daerah operasi Diponegoro di Yogyakarta dengan daerah-daerah di sebelah utara dan barat. Adapun bupati-bupati daerah yang memihak Belanda cukup menyukarkan hubungan pasukan Diponegoro dari daerah satu ke daerah yang lain. Perlawanan di daerah-daerah menjadi terpisah satu sama lain, sehingga sulit untuk diadakan koordinasi.

Berakhirnya Peperangan

Bertambahnya kekuatan pasukan Belanda dengan datangnya bantuan pasukan dari daerah-daerah lain merupakan salah satu sebab makin terdesaknya pasukan Diponegoro di pelbagai medan pertempuran. Sementara itu Belanda juga makin giat berusaha untuk mendekati pemimpin-pemimpin pasukan dengan maksud agar mereka mau memihak Belanda. Seorang putra Mangkubumi bernama Pangeran Notodiningrat bersama-sama dengan istri, ibunya dan sebanyak kurang lebih 20 orang pengikut telah menyerah pada tanggal 18 April 1828; Pangeran Aria Papak menyerah dalam bulan Mei 1828, sedang Sosrodilogo yang merupakan tokoh berperanan dalam mengobarkan perlawanan di daerah Rembang juga menyerah tanggal 3 Oktober 1828.

Pasukan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo yang berhadapan dengan pasukan Belanda terpaksa mundur sampai tepi Sungai Progo. Pasukannya pada akhir September 1828 kemudian bergerak ke arah barat. Pada pihak lain tekanan dari pasukan Belanda yang makin berat merupakan salah satu sebab Kiai Mojo menulis surat kepada Belanda pada. tanggal 2 Oktober 1828, yang memuat kesediaannya untuk mengadakan perundingan.

Adanya kesediaan tersebut memang diharap-harapkan oleh Belanda, karena Kiai Mojo dipandang sebagai salah satu tulang punggung kekuatan Perang Diponegoro. Perundingan taraf pertama yang diadakan pada tanggal 31 Oktober 1828 ternyata gagal, sehingga dianggap perlu adanya perundingan taraf kedua.

Menurut wawancara antara de Stuers dengan Diponegoro pada akhir perang yaitu ketika Diponegoro sedang dalam perjalanan ke tempat pembuangan, dikatakan bahwa sebelum perundingan di Mlangi ini sebenarnya pernah juga diadakan perundingan di Sambiroto. Dalam perundingan ini Diponegoro juga mewakilkan kyai Mojo, tetapi perundingan tersebut tidak membawa hasil seperti yang diharapkan. Perundingan Mlangi menurut Diponegoro, adalah atas kemauan Kyai Mojo sendiri. Dikatakan bahwa waktu itu Kiai Mojo membawa serta 500-600 pasukan Bulkiya, sedang dalam perundingan ia didampingi oleh ulama-ulama dari Pajang.

Menghadapi situasi demikian, Sentot Prawirodirdjo masih terus aktif melakukan perlawanan di medan pertempuran sebelah barat daerah Yogyakarta. Pada tanggal 20 Desember 1828 ia mengadakan penyerangan atas benteng Belanda di daerah Nanggulan dan memperoleh kemenangan. Dalam pertempuran tersebut, Kapten van Ingen dan Pangeran Prangwadono tewas. Dalam pandangan Belanda, Sentot tetap merupakan musuh yang berbahaya, oleh karenanya Belanda berusaha mencari jalan untuk mendekatinya sehingga ia mau menyerah.

Mula-mula usaha dilakukan oleh Jenderal de Kock dengan mengirimkan surat pada tanggal 11 Pebruari 1829 kepada Sentot yang isinya menganjurkan supaya menghentikan perlawanan, tetapi Sentot menolaknya. Pada tanggal 28 Juni 1829 Residen Van Nes juga mengirim surat kepada Mangkubumi berisi saran agar Pangeran tersebut bersedia menghentikan perang, tetapi saran ini pun ditolak.

Kebimbangan mulai timbul pada diri Mangkubumi setelah pada tanggal 23 Juli 1829 salah seorang istrinya beserta tiga orang putranya bernama Wiryokusumo, Wiryoatmojo dan Suradi menyerah pada Belanda. Pada tanggal 25 September 1829 Belanda telah menýuruh putra-putra Mangkubumi yang lain, ialah Atmodiwiro dan Reksoprojo, untuk mencari ayahnya dan membujuknya supaya menyerah. Usaha Belanda baru berhasil setelah Notodiningrat, putra Mangkubumi yang lain lagi, pada tanggal 27 September 1829 dapat menemukan ayahnya di Desa Monopeti dan dengan bujukan berhasil mengantarkannya untuk menyerah pada Residen Van Nes.

Selanjutnya pada tanggal 27 Juli 1829 Van Nes juga mengirim surat kepada Sentot Prawirodirdjo berisi aiakan untuk berdamai. Belanda menyanggupi untuk menjamin keselamatan diri Sentot dan akan memberi perlakuan maupun kedudukan yang baik.

Dalam hubungan ini Komisaris Jenderal du Bus telah memberi instruksi kepada Jenderal de Kock agar memaksa Diponegoro untuk menghentikan perlawanan dan supaya mengancam akan membunuh anaknya, Diponegoro Anom, apabila Diponegoro menolaknya.

Untuk mendekati Sentot lagi, Belanda menggunakan Pangeran Ario Prawirodiningrat, bupati Madiun yang masih kerabat dengan Sentot sendiri. Prawirodiningrat diminta oleh Belanda untuk melunakkan pendirian Sentot agar mau menghentikan perlawanan.

Akhirnya pendekatan Belanda pada Sentot untuk berdamai berhasil dalam perundingan di Imogiri tanggal 17 Oktober 1829, yaitu setelah Belanda bersedia menerima beberapa syarat yang diajukan oleh Sentot. Syarat-syarat itu antara lain berisi: agar Sentot diperbolehkan tetap memeluk agamanya, agama Islam: agar pasukannya tidak dibubarkan dan ia tetap menjadi pemimpinnya; agar ia dan seluruh anggota pasukannya tetap memakai serban.

Sebagai kelanjutan dari persetujuan itu Sentot dan pasukan pada tanggal 24 Oktober 1829 memasuki ibukota Kerajaan Yogyakarta untuk menyerahkan diri.

Bagi Diponegoro, penyerahan Sentot merupakan pukulan berat. Sedangkan sebulan sebelumnya. Pangeran Joyokusumo yang banyak membantu dalam bidang etik, telah gugur dalam suatu pertempuran. Merosotnya kekuatan perang Diponegoro makin nampak setelah makin banyak orang-orang yang berperanan menyerah pada Belanda. Pangeran Ario Suriokusumo menyerah pada tanggal 1 Nopember 1829, Kertopengalasan menyerah pada tanggal 8 Januari 1830 dan patih dari Diponegoro sendiri pada tanggal 18 Januari 1830

Usaha Belanda untuk mempercepat selesainya perang antara lain juga dilakukan dengan cara pengumuman pemberian hadiah sebanyak 20.000 ringgit kepada sla pa pun yang dapat menangkap Diponegoro. Pengumuman yang telah dikeluarkan sejak tanggal 21 September 1829 hingga akhir tahun itu masih belum juga berhasil. Pendekatan akhirnya tercapai dengan diadakannya pertemuan antara Kolonel Cleerens dengan Diponegoro di Desa Romo Kamal pada tanggal 16 Pebruari 1830. Dalam perundingan pada hari berikutnya di Kecawang Belanda menyarankan pada Diponegoro untuk melanjutkan perundingan di Magelang dengan jaminan akan mendapat perlakuan jujur, dalam arti apabila perundingan gagal, ia diperbolehkan kembali ke medan perang. Dengan kepercayaan akan janji Cleerens, Diponegoro dengan pasukannya pada tanggal 8 Maret memasuki Kota Magelang.

Berhubung pada waktu itu bertepatan dengan bulan Ramadhan, maka Diponegoro meminta agar perundingan ditunda. Sementara itu Jenderal de Kock yang baru tiba di Semarang setelah beberapa waktu lamanya berada di Batavia mendengar berita bahwa usaha Cleerens untuk mendekati Diponegoro berhasil. Pada tanggal 25 Maret 1830 Jenderal de Kock dengan secara rahasia memberi  instruksi untuk menangkap Diponegoro apabila perundingan gagal. Penundaan perundingan selama kira-kira 20 hari dalam bulan Ramadhan memberi kesempatan pada Belanda untuk merencanakan penangkapannya.

Perundingan yang diadakan pada tanggal 28 Maret 1830 ternyata berakhir dengan kegagalan. Di rumah residen Kedu yang menjadi tempat perundingan itulah Diponegoro ditangkap. Dengan penangkapan Diponegoro berarti bahwa pemimpin tertinggi perlawanan tidak ada Kegiatan perlawanan di daerah-daerah yang sejak awal tahun 1830 telah menurun menjadi semakin lemah dan akhirnya tidak berarti lagi.

Bagi Belanda, penangkapan Diponegoro berarti pembebasan dari beban pembiayaan perang yang semakin besar. Berdasarkan keputusan Pemerintah Belanda di Batavia pada tanggal 30 April 1830, Diponegoro akan disingkirkan ke Manado. Diponegoro kemudian diangkut dengan kereta ke Semarang dengan penjagaan serdadu-serdadu Belanda. Setelah diangkut dengan kapal ke Batavia selanjutnya pada tanggal 13 Mei 1830 ia diangkut dengan korvet Pollux ke Manado. Dalam perjalanan sampai di Jakarta dalam rangka pengasingan ke Manado, Diponegoro dikawal oleh Kapten Roeps dan Letnan de Stuers.

Karena di Manado penjagaan atas Diponegoro dirasa kurang kuat, maka pada tahun 1834 Belanda memindahkannya ke tempat pembuangan di Makasar. Di sinilah Diponegoro tinggal sampai meninggalnya pada tanggal 8 Januari 1855 dalam usia lebih kurang 70 tahun.

Akibat Sentot Prawirodirdjo yang telah dikirim ke Sumatera Barat untuk memerangi kaum Paderi. Pengiriman Sentot dengan pasukannya ke Sumatera Barat adalah termasuk dalam rangka penggunaan tenaga bumiputra oleh Belanda untuk memerangi sesama orang Indonesia di daerah lain. Tetapi kemudian timbul kecurigaan dari pihak Belanda terhadap Sentot yang dituduh mengadakan persekutuan rahasia dengan kaum Padri, sehingga Hindia Belanda menariknya kembali ke Jawa.

Sentot segera ditangkap dan diasingkan ke Cianjur. Tak lama setelah itu Sentot dipindahkan lagi ke Bengkulu sampai dengan saat meninggalnya pada tanggal 17 April 1855.

Kyai Mojo yang diasingkan ke Minahasa meninggal pada tanggal 20 Desember 1849.

Belanda yang merasa telah membantu pemerintah Kesultanan dan Kesunanan mengajukan tuntutan penguasaan daerah Mancanegara yang masih dimiliki oleh kedua kerajaan itu: Sunan Pakubuwono VI yang menyingkir dari istana ke pantai selatan karena suatu sengketa, ditangkap dan diasingkan ke Ambon.

--- Selesai ---

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak