Perjuangan Pangeran Diponegoro Menentang Kolonialisme Belanda

Konten [Tampil]

Sebab Khusus Perjuangan Pangeran Diponegoro

Kekecewaan terhadap pemerintah kerajaan, yang dalam bidang politik banyak dipengaruhi oleh Belanda, adalah menjadi sebab utama mengapa Diponegoro lebih banyak tinggal di Tegalrejo daripada di istana. Di tempat ini ia lebih memusatkan perhatian pada soal-soal agama, pengetahuan tentang adat, sejarah maupun hal-hal yang mengenai kerokhanian.

pangeran diponegoro


Kecintaan dan kesetiaan rakyat petani Tegalrejo pada Diponegoro nampak jelas terutama pada waktu terjadi kericuhan mengenai pembuatan jalan melalui tanah Desa Tegalrejo tanpa izin Diponegoro. Jalan yang akan dibangun oleh Belanda tersebut akan melintas tanah makam leluhur Diponegoro, karena itu mendapat tantangan keras dari Pangeran Diponegoro.

Insiden pemasangan tonggak jalan yang terjadi pada tanggal 20 Juli 1825 tidak dapat didamaikan. Belanda bersikeras untuk melaksanakan maksudnya, sedang Diponegoro juga tetap mempertahankan haknya sebagai pemilik tanah Tegalrejo. Suasana menjadi semakin tegang.

Dengan perantara Pangeran Mangkubumi, Residen A.H. Smisaert meminta agar Diponegoro bersedia datang ke rumah residen, namun permintaan itu ditolaknya.  Usaha untuk kedua kalinya dilakukan oleh Belanda dengan disertai peringatan pada Pangeran Mangkubumi, bahwa apabila pangeran ini tidak berhasil melunakkan pendirian Diponegoro, maka Belanda tidak berani menanggung keselamatan dirinya.

Dalam keadaan yang sulit ini Mangkubumi akhirnya menentukan sikap untuk memihak Diponegoro. Surat residen yang dibawa oleh Mangkubumi sebenarnya akan dijawab oleh Diponegoro, namun pasukan Belanda telah mendahului menembakkan meriamnya ketika surat balasan Diponegoro sedang ditulis oleh Mangkubumi.

Sejak Belanda dengan perantara Patih Danuredjo IV menyuruh pasang tonggak-tonggak jalan, sebenarnya para petani penduduk Tegalrejo yang menyaksikan kejadian itu telah mengambil sikap untuk berdiri di belakang Diponegoro apabila sewaktu-waktu terjadi perang. Ketika mereka mengajukan pertanyaan tanda apakah yang akan digunakan apabila perang diikuti, jawaban yang
diperoleh dari Diponegoro adalah apabila telah terdengar bunyi meriam.

Penyerbuan Belanda


Bunyi meriam Belanda yang telah terdengar pada tanggal 20 Juli 1825 kurang lebih pukul 17.00 mengejutkan rakyat Tegalrejo. Rakyat petani Tegalrejo dengan membawa peralatan senjata yang ada pada mereka seperti tombak, lembing, umban pelempar batu. Mereka tidak menduga bahwa penyerangan pihak Hindia Belanda akan terjadi dalam waktu secepat itu. Perlawanan secara teratur sudah tentu tidak mungkin dapat dilakukan dalam waktu yang mendadak itu.

Sementara itu Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi masih tetap duduk di pendopo. Beliau memerintahkan salah seorang pasukan bersiap menyambut musuh, padahal keadaan pasukan Diponegoro tidak lengkap. Brojojo, salah seorang pasukan Diponegoro, melaporkan bahwa pasukannya telah terdesak mundur, tetapi Pangeran Diponegoro tidak memberi tanggapan, sehingga Pangeran Mangkubumilah yang mendesak Pangeran Diponegoro untuk pergi dari tempat itu.

Pada mulanya Pangeran Diponegoro tidak berniat menyingkir sebab beliau berpendapat apabila telah dikehendaki olehNya akan mati, beliau lebih senang mati di atas tanah pusaka neneknya. Pangeran Mangkubumi tak menghiraukan alasan itu dan dipaksanya Pangeran Diponegoro segera meloloskan diri melalui pintu samping.

Diponegoro dengan menaiki kuda, Genthayu namanya, diikuti Pangeran Mangkubumi serta adiknya Pangeran Ronggo berhasil meloloskan diri. Di lain pihak, pasukan Belanda terus menyerbu padepokan tersebut. Rumah, mesjid peninggalan Kanjeng Ratu Ageng serta semua harta milik Diponegoro terbakar.

Sementara itu rombongan pasukan Diponegoro akhirnya sampai di Selarong sebelah barat Yogyakarta, dan di sinilah markas pasukan berkedudukan. Keluarga Pangeran Diponegoro, terutama putri-putri diungsikan ke Desa Dekso. Tak lama kemudian, Pangeran Adinegoro yang ada di Yogyakarta menyusul ke Selarong dengan membawa 200 prajurit sebagai bantuan. Pangeran Adinegoro diangkat menjadi patih dengan gelar Pangeran Suryenglogo.

Bersambung ke:
Pangeran Diponegoro, Pembagian Tugas Perlawanan



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak