Peristiwa Pertempuran Jembatan Rawayan | Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api

Konten [Tampil]
Peristiwa pertempuran di sekitar jembatan Rawayan itu merupakan rangkaian dari peristiwa Bandung Lautan Api. Peristiwa Bandung Lautan Api sendiri yang terjadi pada tanggal 24-25 Maret 1946 mengakibatkan kota Bandung dikosongkan dari kekuatan kaum perjuangan sejauh 11 km dari pusat kota dan sekaligus dibumihanguskan oleh kaum pejuang karena tidak rela diduduki oleh musuh dalam keadaan utuh. Dengan demikian, selanjutnya kekuatan kaum perjuangan berkedudukan di luar kota Bandung termasuk di daerah selatan Bandung.

Bandung lautan api
Divisi Siliwangi membumi hanguskan Kota Bandung sebelum Long March


Di daerah Bandung Selatan pasukan perjuangan terdiri atas pasukan TNI dan beberapa pasukan Lasykar Perjuangan yang terhimpun dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MPPP). MPPP bermarkas di Bale Endah Ciparay.

Jembatan Rawayan yang terletak di atas Sungai Cisangkuy menghubungkan desa Kiangroke dengan desa Cangkuang (kecamatan Dayeuhkolot), termasuk berada di daerah garis demarkasi yang memisahkan antara tempat kedudukan serdadu Belanda dengan pasukan perjuangan RI. Daerah sebelah utara Sungai Cisangkuy dan Sungai Citarum merupakan daerah kedudukan serdadu Belanda, sedangkan daerah sebelah selatan kedua sungai itu termasuk daerah kekuasaan pasukan perjuangan RI.

Walaupun tempat kedua pihak yang bermusuhan telah ditentukan dalam suatu kesepakatan, namun karena pada dasarnya bangsa Indonesia tidak mau d ijajah lagi, maka bentrokan senjata antara kedua pihak itu tak dapat dihindari lagi.

Kaum perjuangan yang dipelopori oleh pasukan TNI sering melancarkan serangan dalam rangka perang gerilya terhadap serdadu Belanda, misalnya meledakan gudang senjata di Dayeuhkolot oleh kesatuan kecil pimpinan Moh. Toha pada tanggal 11 Juli 1946. Sebaliknya, serdadu Belanda pun sering menerobos garis demarkasi dan membombardir daerah kedudukan pasukan RI, misalnya, pada tanggal 31 Juli 1946 serdadu Belanda menerobos garis demarkasi sepanjang Sungai Citarum dan kemudian menguasai kota Banjaran selama 8 jam.

Banjaran dan Dayeuhkolot memang merupakan daerah ajang pertempuran, karena merupakan daerah perbatasan garis demarkasi antara kedudukan pasukan perjuangan RI dengan kedudukan serdadu Belanda. Suatu waktu kesatuan perjuangan RI menyerobot ke daerah pendudukan serdadu Belanda, tapi di waktu lain serdadu Belanda memasuki daerah kedudukan  pasukan perjuangan. Oleh karena itu, jika ada pasukan yang berada di daerah ini harus selalu waspada dan siap sedia menghadapi musuh sewaktu-waktu. Demikian pula tugas mata-mata memainkan peranan penting dalam mengamati gerakan musuh dan menyampaikan informasi kepada pasukan sendiri. Sejumlah pasukan dari kedua belah pihak sering keluar masuk daerah ini untuk memperlihatkan kekuasaan mereka atau menjebak pihak lawan. 

Demikianlah, pada hari Senin pada tanggal 28 Ramadhan 1365 Hijriyah yang bertepatan dengan tanggal 26 Agustus 1946 sejumlah pasukan perjuangan yang terdiri atas beberapa kesatuan, seperti kesatuan TRIKA pimpinan Kapten Kadarusno, kesatuan Polisi Tentara pimpinan Kapten Gandawijaya, melintas ke daerah sekitar Jembatan Rawayan. Mereka berjalan mengikuti pematang sawah. Mereka tidak tahu bahwa di sekitar tempat itu telah ada pasukan Belanda yang bersenjata lengkap dan siap sedia menghadang mereka. Agaknya, serdadu Belanda mengetahui bahwa pada waktu itu pasukan perjuangan akan melewati daerah itu sehingga pada waktunya mereka telah siap menyerang pasukan perjuangan tanpa diketahui pihak lawan.

Sekitar pukul 08.00 pagi terdengarlah rentetan bunyi tembakan yang disambut dengan rentetan bunyi tembakan lainnya. Pertempuran pun terjadilah beberapa waktu lamanya. Ternyata beberapa saat sebelum terjadi pertempuran, serdadu Belanda berhasil mengepung lokasi pasukan perjuangan. Karena itu, walaupun semua anggota pasukan perjuangan dengan gagah berani meladeni serangan serdadu Belanda, namun akhirnya mereka tak berdaya. Banyak di antara mereka gugur di medan tempur, sebagian lagi berhasil meloloskan diri.

Cukup lama setelah pertempuran terjadi, tak ada yang berani mendekati ke tempat pertempuran itu, karena penduduk sekitarnya, terutama kaum lelaki, segera melarikan diri dan bersembunyi di tempat-tempat perlindungan begitu mendengar rentetan tembakan itu. Mereka takut keluar dari tempat persembunyiannya.

Setelah tersiar berita bahwa  banyak mayat bergelimpangan di sawah dekat Jembatan Rawayan, barulah ada beberapa orang yang berani ke luar rumah dan bermaksud menolong korban pertempuran. itupun umumnya kaum ibu. Ibu-ibu penduduk Kampung Pataruman Desa Kiangroke, kampung yang paling dekat ke lokasi pertempuran. yang paling dahulu mendatangi tempat korban, antara lain Sukesih, Eras, Darsih. Dengan penuh rasa kemanusiaan dan pengabdian mereka mengangkat mayat pejuang satu demi satu dari tengah sawah kemudian di bawah ke perkampungan. Karena tidak ada alat untuk menggotong mayat itu, maka tangga dan badodon (alat menangkap ikan yang terbuat dari bambu) digunakan sebagai alat pengangkutanya. Ternyata korban yang gugur dari pejuang itu berjumlah 43 orang. Pada umumnya para pejuang yang gugur tersebut masih muda belia, berusia sekitar 20 tahun.

Bagian terbesar dari mereka berasal dari pasukan TRIKA. Mayat mereka kemudian dikumpulkan di Balai Desa Kiangroke dan markas TRI di kampung Tarigu (Desa Kiangroke). Esok harinya mayat mereka diangkut dengan treuk PKKB ke Pangalengan untuk dimakamkan di Ciwidara dan Cinere.
Dari 43 korban itu ada 16 orang yang diketahui nama dan asal kesatuannya. Mereka adalah Suparman, Rasdi, Unus, Idi, Omon, Enjo, Iding, Uding, Pepe, Sumar. Adung, Ayub, ilyas, dan Haris yang berasal dari kesatuan TRIKA: Enung yangberasal dari kesatuan Polisi Tentara (PT), dan H. Sarbini yang berasal dari masyarakat setempat. Kecuali H. Sarbini, para pejuang lainnya bukanlah penduduk desa tersebut. Ada yang mengatakan, kebanyakan dari mereka berasal dari Tasikmalaya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak