Perlawanan Rakyat Banten Menghadapi Tentara Jepang Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

Konten [Tampil]
Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diterima di daerah Banten dan disebarluaskan sampai ke daerah pedalaman dalam jangka waktu 3-4 hari sejak tanggal 17 Agustus 1945. 

Pekik merdeka dan dikibarkannya Sang Merah Putih merupakan tanda kegembiraan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Para pemuda, ulama, jawara bertekad untuk segera mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang. Selanjutnya, mereka akan mempertahankan dan menegakkan Kemerdekaan Republik Indonesia itu. 

Untuk melaksanakan tugas tersebut, para pemuda Banten dengan dipelopori oleh bekas Yugekitai mendirikan Angkatan Pemuda Indonesia (API).

Perlawanan Rakyat Banten Menghadapi Tentara Jepang
Monumen Peringatan Perlawanan Rakyat Banten Menghadapi Tentara Jepang 


Setelah Badan Keamanan Rakyat (BKR) berdiri, API bergabung dalam BKR menjadi satu wadah dan terdiri dari bekas PETA, HEIHO Darat dan laut dan beberapa orang yang telah berpendidikan kemiliteran Hindia Belanda.

Pada saat itu tentara Jepang dalam keadaan patah semangat, akibat kalah perang oleh sekutu, tetapi mereka bisa bangkit kembali apabila mendapat serangan secara mendadak. Hal itulah yang dikhawatirkan oleh pimpinan Badan Keamanan Rakyat (BKR) setempat.

Sementara itu perlakuan semena-mena tentara Jepang tidak berkurang bahkan sebaliknya, mereka menindas rakyat di mana-mana. Hal ini justru menimbulkan bangkitnya rasa kebanggaan rakyat Banten, mereka bertekad untuk melawan penjajah Jepang. Bagi mereka, pergi ke Front pertempuran merupakan suatu kebanggaan. 

Rakyat Banten bersatu dalam tiga kekuatan, yaitu para pemuda dengan lasykarnya, ulama, dan kaum wanita yang bertugas di garis belakang yaitu menyediakan dapur umum dan palang merah.

Pada waktu itu tentara Jepang yang bermarkas di daerah Banten memiliki persenjataan lengkap dan berkekuatan sekitar + 2 kompi. Pimpinan BKR Banten mencari akal, bagaimana caranya untuk mendapatkan senjata api demi keperluan mempersenjatai pasukannya sebagai tenaga inti perjuangan rakyat Banten. Untuk menyerang tentara Jepang tidak mungkin hanya dihadapi dengan senjata tajam dan bambu runcing saja.
Atas dasar pertimbangan itu maka ditempuh jalan diplomasi dengan komandan Kempetai di Serang. 

Sebagai juru bicara ditunjuk ex-Gico Zulkarnaen Surya Kertalegawa. Ia menghimbau kepada pimpinan Kempetai agar supaya menyerahkan senjata kepada BKR atau Residen K.H. Tb. Achmad Chotib. Pimpinan BKR dan Residen sanggup menjamin keselamatan orang Jepang di Banten sampai kedatangan tentara Sekutu. Perundingan ini tidak berhasil.

Sehubungan dengan sikap militer Jepang itu, maka Residen Banten mengatakan bahwa ia tidak bertanggung jawab atas keselamatan orang-orang Jepang seandainya ada reaksi rakyat terhadap mereka. 

Kegagalan untuk menguasai senjata dari Jepang secara diplomasi, menimbulkan ide baru bagi Ali Amangku, pimpinan para pemuda Banten. Menurutnya, senjata itu dapat dikuasai dengan tipu muslihat. Oskar Kusuma Ningrat, Kepala Polisi, bersama pemuda Marzuki dan Sadeli, pernah menjadi anggota API, akan berusaha untuk mendapatkan senjata dari Jepang dengan tipu muslihat dan tanpa kekerasan. Caranya Zulkarnaen, ex-Gico, akan menjalankan tugas di daerah Gorda, sedangkan Yudhi, Bunsyo (Kepala Kawal Perjalanan), akan mengambil tentara Jepang yang ada di Sajira. Dalam perjalanan mereka akan disergap oleh rakyat Warung Gunung.

Tubagus Marzuki, Sadeli, dan 10 orang polisi diberi pakaian dinas lengkap di Cipare (sekarang Komres Polisi). Mereka berangkat menuju Gorda dengan mengendarai mobil sedan Kepala Polisi dan bendera dinas P.I. dan satu mobil pick-up berisi satu regu polisi bersenjata. 

Di lapangan terbang Gorda, komandan tentara Jepang menerima perintah secara lisan melalui telpon dari pimpinan Kempetai agar segera pindah ke Serang dan diingatkan supaya dalam perjalanan harus bersikap ramah hingga tidak menim bulkan masalah baru. Oleh karena itu, kedatangan dua orang polisi berseragam lengkap bersama satu regu anak buahnya yang melapor bahwa mau mengawal kepindahannya ke Serang diterima dengan baik. Tentara Jepang dikawal dengan aman sampai di markas Kempetai. Tetapi kendaraan truk memuat senjata berbelok masuk markas BKR/API. Selain itu, ada lagi satu regu tentara Jepang, mau menjemput teman-temannya yang masih berada di Sajira. Di lintasan rel kereta api di Warung Gunung truknya disergap oleh para pemuda sehingga tentara Jepang tidak dapat berbuat apa-apa.

Ketika mereka akan melawan, segera dihabisi oleh para pemuda. Hasilnya BKR mendapatkan senjata api karaben sebanyak lima belas pucuk. BKR/API berhasil merampas senjata milik tentara Jepang di Gorda dan Warung Gunung, sementara rakyat Ciomas sudah bersenjata pula, juga Kepala Polisi Istimewa Oskar menyanggupi untuk menggunakan senjata api kepolisian, maka K.M. Syam'un, Ali Amangku dan K.H. Tb. Achmad Chotib mempertimbangkan dan memutuskan untuk segera menyerbu markas Kepolisian Serang.

Diperkirakan kekuatan musuh ada tiga seksi dengan persenjataan lengkap dan persediaan peluru cukup banyak. Setelah faktor teknis dipertimbangkan dan segala sesuatunya dipersiapkan, pada tanggal 27 Oktober 1945 pukul 05.00 pagi dengan diiringi takbir "Alahu Akbar" secara serentak dan bergemuruh sejumlah pemuda, lasykar, ulama, jawara menyerbu markas Kempetai. Terlebih dahulu listrik dipadamkan sehingga suasana tambah mencekam. Tembak menembak pun terjadi, rentetan tembakan dari kubu pertahanan Jepang menyapu ke arah depan, kiri, dan kanan sampai pukul 07.00.

Kedua pihak masih bertahan pada posisi masing-masing. Ex-Bundanco Yudhi dan Nunung Bakri nekad maju ke medan laga. Mereka berusaha mendekat sampai ke perempatan jalan alun-alun. Tentara Jepang lebih menguasai situasi medan pertempuran sehingga dua orang pemuda itu gugur kena tembak. Tentara Jepang bersiasat tidak menembak apabila tidak ditembak. Sedangkan di pihak BKR, gugumya dua orang pemuda itu membangkitkan semangat. Rakyat marah, sehingga markas Kempetai dikepung dari semua jurusan dan akan diserang secara serentak. Tetapi hal ini cepat diredakan oleh para sesepuh. Para pemuda sadar akan tindakannya itu.

Malam harinyą ketika sebagian pemuda sedang beristirahat, kira-kira pukul 19.30 malam, kesunyian dipecahkan oleh serenntan tembakan senjata yang ditembakkan secara gencar ke arah daerah pertahanan BKR dan menggema beberapa saat lamanya. Tidak lama kemudian berhenti, malam kembali sunyi mencekam. Rupanya pada waktu tembakan-tembakan gencar dan dalam cuaca gelap, tentara Jepang yang sudah terkurung itu berhasil melarikan diri dengan membawa empat buah truk melalui jalan Cirencong, Cijuwa, Cipare langsung menuju ke arah Jakarta. 

Asrama Kempetai berhasil didudu ki. Ternyata empat orang tentara Jepang terbunuh. Kerugian di pihak kita, empat pejuang gugur.

Untuk mengingat peristiwa ini, oleh pemerintah dibangunlah Monumen Perjuangan 45 Rakyat Banten yang terletak di Kota Serang.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak