Sejarah Perjuangan Rakyat Surakarta; Masa Penjajahan Jepang hingga Proklamasi 17 Agustus 1945
Daftar Isi
Latar Belakang Sejarah
Sebelum Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 , daerah Surakarta merupakan daerah Swapraja yang dibagi atas dua bagian, yaitu:- Swapraja Kasunanan yang dikepalai oleh seorang raja bergelar Pakubuwana ;
- Swapraja Mangkunegaran yang dikepalai oleh seorang raja bergelar Mangkunegoro.
Perang saudara silih berganti, hal ini telah dijadikan kesempatan oleh Belanda untuk memihak salah satunya. Dengan jasa-jasa ini, Belanda mengharapkan dapat imbalan memperoleh daerah-daerah yang langsung dapat dikuasainya.
Pada waktu pecah Perang Dunia 2 yang menjalar ke Asia (termasuk di Indonesia), Pemerintah Belanda mengadakan Milisi dan Mobilisasi Umum, sebab Jepang telah menyerang Pearl Harbour.
Suatu siasat Belanda menjadikan kota Solo sebagai kota terbuka. Semua sumber tenaga dibumihanguskan, supaya Jepang tidak dapat mengambil manfaat logistik. Tanggal 1 Maret 1942 Jepang mendarat ke daerah Rembang. Tanggal 2 Maret 1942 Belanda di kota Solo merencanakan pembumihangusan BPM di Ngemplak, tetapi tidak dapat terlaksana karena tergesa-gesa, sehingga tentara Belanda melarikan diri.Kemudian pada tanggal 5 Maret 1942 bala tentara Jepang masuk ke daerah Surakarta (Solo) yang dipimpin oleh H. Funabiki tanpa adanya perlawanan. Solo dikuasai Jepang.
Masa Penjajahan Jepang hingga Proklamasi 17 Agustus 1945
Dalam masa pemerintahan Jepang, Daerah Surakarta merupakan daerah otonom dengan nama Koti Jimukyoku (Solo ko dan Mangkunegaran Ko ), dengan Gubernur M. Watanabe. Bentuk-bentuk pemerintahan lama dengan hukum dan perundang-undangan dinyatakan tetap berlaku, selama tidak bertentangan dengan pemerintah militer Jepang.Pada tanggal 15 Agustus 1943 Jepang telah mengumumkan bahwa pemuda-pemuda Indonesia diberi kesempatan untuk memasuki pasukan Sukarela yang bernama Pasukan Pembela Tanah Air (PETA). Sedang di daerah Solo dibentuk pula Daidan I dan Daidan II di Wonogiri.
Sebagai ciri khas dari kekuasaan pemerintahan militer, Jepang adalah terkenal dengan kekejamannya yang melampaui batas kemanusiaan, terutama dilakukan oleh Kempetai semacam Polisi Militer, sehingga kehidupan rakyat Solo semakin tertindas dan merasa diperas terus menerus oleh Jepang.
Dengan tekanan-tekanan tersebut mengakibatkan timbulnya pemberontakan di kalangan PETA, sebab para opsir PETA tergerak perasaannya, karena cinta tanah air dan bangsanya. Secara sembunyi-sembunyi telah terbentuk organisasi lkatan Putra Tanah Air Sejati (IPTAS)dengan tujuan utama merebut kekuasaan dari Jepang.
Sewaktu Indonesia merdeka, rakyat Solo yang sudah dididik, ataupun dibekali latihan perang dan kemiliteran dari Jepang menyambut kemerdekaan Indonesia dengan semangat yang meluap-luap. Pekik Merdeka terdengar di mana-mana. Rakyat Solo tidak lagi merasa takut kepada tentara Jepang.
Secara spontan pemuda-pemudi menempeli kertas Merah Putih dan tulisan-tulisan milik R.I. di gedung-gedung yang ditempati oleh para opsir Jepang. Bendera Merah Putih berkibar di depan tiap-tiap rumah.
Karena Jepang merasa dirinya tidak aman dan takut dengan semangat 17 Agustus 1945 maka pada tanggal 19-20 Agustus 1945 Tentara PETA dibubarkan. Namun hal ini telah dapat diketahui oleh pihak kita bahwa hanya merupakan suatu siasat yang licik bagi Tentara Jepang. Maka para opsir Peta saling mengadakan hubungan dan mengadakan siasat untuk sedapat-dapatnya menyelamatkan senjata.
Di samping itu para pemuda-pemudi pejuang membentuk organisasi yang dinamakan Angkatan Muda R.I. ( AMRI), merupakan jelmaan dari Angkatan Muda Indonesia yang terbentuk sejak pemerintahan Jepang.
Di samping AMRI ada lagi sebuah organisasi ialah Angkatan Muda Tentara, nama baru bagi IPTAS setelah di dalamnya bergabung suatu organisasi bekas-bekas pelaut lulusan Sekolah Pelayaran Tinggi, sedang anggota anggota lainnya sebagian besar terdiri atas pemuda-pemuda yang pernah memanggul senjata, yaitu para bekas PETA, Heiho, Pelaut, Legiun M.N., KNIL, Barisan Pelopor, Suisintai, Jibakutai dan lain-lain.
Dengan Dekrit 25 September 1945 dimulailah perebutan kekuasaan sipil dari Jepang, sedangkan semua pegawai negeri diproklamasikan jadi pegawai negeri R.I. Jawatan demi jawatan, Kantor demi kantor dan seluruh kekuasaan sipil dalam wilayah Surakarta direbut dari tangan Jepang.
Tanggal 26 September 1945 terjadi pelucutan senjata Polisi Jepang di Klaten, dan dari pelucutan senjata ini menjadi modal pergolakan revolusi di daerah Surakarta.
Tanggal 30 September 1945 seorang Bekas Opsir PETA dengan paksa telah berhasil mengambilalih. kekuasaan pemerintahan dari Jepang yang pada waktu itu dipegang oleh M. Watanabe. Peristiwa ini terjadi di Balai Kota Sekarang (dahulu Kantor Koti atau Gubernuran).
Tanggal 1 Oktober 1945 terbentuk satu pemerintahan dengan nama KPPRI (Kantor Pusat Pemerintahan R.I.) dan akhirnya diganti menjadi KDPRI (Kantor Daerah Pemeritahan R.I). Di samping badan pemerintahan itu terbentuk Komite Nasional Indonesia Surakarta yang diketuai oleh Mr. Soemadiningrat.
Sesuai dengan keputusan KNI Pusat Jakarta, terbentuklah BKR, suatu pasukan bersenjata di Solo, yang dipelopori oleh Soetarto, Ahmad Fajar, GPH Purbonagoro, Soenarto Koesoemadirdjo, GPH Jatikoesoemo; tugasnya menjaga keamanan Kota Solo.
Tanggal 3 Oktober 1945 merupakan permulaan gerakan pelucutan senjata pasukan Jepang. Tindakan para pemuda di Solo semakin berani. Sebelum dilakukan peIucutan senjata dari tangan Jepang terlebih dahulu diadakan suatu penculikan terhadap Mase Butaico sebagai pimpinan pasukan Jepang yang dikonsinyir di R.S. Zienkenzorg dan disembunyikan di Loji Gandrung dengan penjagaan yang ketat.
Serombongan yang terdiri atas wakil-wakil KNI, BKR, dan AMRI mengadakan perundingan dengan Mase Butaico, untuk itu Butaico dibawa ke Gedung Gubernuran. Sedang di bagian lain mempersiapkan pasukan-pasukan rakyat dengan senjata bambu runcing mengepung R.S. Ziekenzorg.
Perundingan antara wakil-wakil KNI dengan Mase Butaico mula-mula berjalan agak tersendat dikarenakan Mase tidak mau bicara, namun akhirnya menyetujui juga adanya perjanjian tertulis tentang penyerahan seluruh pasukan Jepang dengan seluruh alat-alat senjata yang ada padanya.
Perjanjian ditandatangani oleh pihak Jepang diwakili Mase Butaico dan dari pihak R.I. Sunarto Kusumodirdjo. Setelah perjanjian ditandatangani dari pihak Jepang dengan berbondong-bondong Mase Butaico diantarkan sampai jalan besar, ia mula-mula hanya dilepaskan sendiri, tetapi kemudian didampingi oleh Iskandar, Suadi, Sastra Lawu dan Soenarto Kusumodirdjo.
Atas perintah Mase Butaico pasukan Jepang yang mula-mula sudah stelling, meletakkan senjata dan menyerah kepada para pemuda (BKR, AMRI) kemudian 35 orang pasukan Jepang tersebut diangkut ke kamp di Desa Tampir, Boyolali. Yang diserahi tugas untuk mengurusi hal tersebut adalah Soenarto Koesoemodirdjo dan kemudian senjata-senjata tersebut diangkut ke Kantor Polisi, Kantor BKR dan ke Mangkunegaran. Demikian pula gedung amunisi dan senjata di Bangak kita kosongkan, sedangkan obat-obatan yang berlimpah ruah yang berada di pabrik Gembongan kita angkut dan diserahkan kepada Pemerintah R.I.
Tanggal 12 Oktober 1945 Kenpeitai Jepang menolak untuk menyerahkan senjatanya, sehingga seluruh rakyat Solo dengan serentak berduyun-duyun menuju gedung Kenpetai dan menuntut penyerahan senjatanya. Saat itu juga beribu-ribu pemuda dengan membawa senjata dari BKR dan berbamburuncing berdatangan ke tempat tersebut. Karena dari pihak Jepang tetap tidak mau menyerahkan, maka pukul 21 .00 terjadi tembak-menembak dengan dahsyat, dan akhirnya jam 00.30
diadakan suatu perundingan.
Dimulai kembali tembak-menembak pada tanggal 13 Oktober dan dari pihak kita telah ada seorang pemuda yang gugur, yaitu Arifin. Gugurlah untuk pertama kali seorang patriot di Kota Solo dalam membela dan mengisi kemerdekaan. Dan akhirnya pertahanan Kenpeitai dapat dipatahkan. Satu per satu tempat-tempat konsentrasi tentara Jepang di daerah Surakarta dapat ditundukkan.
Bersambung ke:
Pembentukan Pemerintahan Daerah di Solo
Posting Komentar