Kapal Induk: Gengsi atau Kebutuhan Strategis untuk Pertahanan Indonesia?

Table of Contents

 
Kapal Induk TNI AL
By U.S. Navy photo by Photographer's Mate Airman Rob Gaston - http://www.navy.mil; exact Source, Public Domain, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=4265428

Analisis Strategis & Fiskal

Wacana akuisisi kapal induk oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) telah menjadi topik hangat di kalangan pengamat pertahanan. Di satu sisi, ide ini terdengar menarik. Namun di sisi lain, banyak pertanyaan mendasar yang muncul: apakah kapal induk benar-benar dibutuhkan oleh Indonesia, dan apakah kita mampu menanggung biayanya?

Daya Tarik Kapal Induk: Simbol Kekuatan dan Misi Kemanusiaan

Bagi para pendukungnya, memiliki kapal induk adalah langkah strategis untuk memproyeksikan citra Indonesia sebagai kekuatan maritim global yang setara dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok. Kehadirannya bisa menjadi instrumen penggentar yang efektif dan memberikan kemampuan proyeksi kekuatan yang lebih luas di perairan internasional. 

Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Muhammad Ali, bahkan, secara spesifik menyatakan ketertarikannya pada kapal induk untuk mendukung Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Kapal induk dapat berfungsi sebagai pangkalan apung untuk operasi bantuan kemanusiaan dan penanggulangan bencana, mengangkut helikopter, logistik, dan personel medis. Bahkan, TNI AL dikabarkan tengah menjajaki akuisisi ITS Giuseppe Garibaldi, sebuah kapal induk ringan bekas milik Angkatan Laut Italia yang dinonaktifkan pada Oktober 2024. 

Beban Fiskal yang Tak Terbayangkan

Namun, daya tarik kapal induk luntur di hadapan realitas ekonomi. Biaya akuisisi hanyalah puncak dari gunung es pengeluaran. Biaya total untuk satu grup tempur kapal induk (Carrier Strike Group/CSG) sangatlah fantastis. Selain kapal induk itu sendiri yang bisa mencapai puluhan triliun rupiah, diperlukan juga armada pesawat tempur, helikopter, munisi, dan yang tak kalah penting, kapal-kapal pengawal seperti kapal perusak dan kapal selam. Sebagai perbandingan, biaya pengadaan seluruh ekosistem ini diperkirakan bisa mencapai sekitar Rp321 triliun. 

Beban terberatnya adalah biaya operasional jangka panjang. Mengoperasikan satu kapal induk konvensional kelas supercarrier milik AS bisa menelan biaya Rp80-90 miliar per hari. Biaya ini mencakup segala hal, mulai dari bahan bakar hingga katering untuk ribuan awak yang bekerja di "kota terapung" ini. Analis dari Lowy Institute, Abdul Rahman Yaacob, secara eksplisit meragukan kemampuan Indonesia untuk menanggung biaya setinggi itu, yang bisa menguras habis anggaran pertahanan nasional. 

Pelajarannya dari Thailand: Monumen Terapung

Sejarah mencatat pengalaman pahit Thailand dengan kapal induknya, HTMS Chakri Naruebet. Sebagai satu-satunya kapal induk di Asia Tenggara, ia lebih sering menghabiskan waktunya bersandar di pelabuhan dan kini berfungsi sebagian besar sebagai objek wisata. Masalah anggaran, logistik, dan ketiadaan pesawat yang fungsional mengubah kapal induk kebanggaan Thailand menjadi "monumen terapung". Ini adalah pelajaran berharga bahwa kapal induk tanpa ekosistem pendukung yang kuat hanyalah aset mahal yang tidak memiliki nilai strategis. 

Jalan yang Lebih Bijaksana: Fokus pada Kekuatan yang Sudah Ada

Untungnya, Indonesia memiliki jalur alternatif yang lebih pragmatis dan efektif. Daripada mengejar platform yang rentan, kita bisa memperkuat apa yang sudah kita miliki. Indonesia kini telah menjadi kekuatan maritim peringkat keempat di dunia tanpa kapal induk. Hal ini tercapai berkat doktrin pertahanan Green Water Navy yang berfokus pada armada kapal patroli, kapal selam, dan pangkalan udara yang tersebar di seluruh nusantara. 

Kementerian Pertahanan dan TNI AL telah mengambil langkah yang tepat dengan berinvestasi pada platform yang lebih modern dan sesuai:
  • Jet Tempur Berbasis Darat: Akuisisi puluhan jet tempur Dassault Rafale dari Prancis adalah langkah strategis untuk memperkuat pertahanan udara dan maritim dari pangkalan darat. 
  • Armada Kapal Selam Modern: Pembangunan dua unit kapal selam kelas Scorpene secara joint venture dengan PT PAL Indonesia merupakan langkah maju. Kapal selam adalah platform ideal untuk strategi Anti-Access/Area Denial (A2/AD) yang efektif terhadap armada besar dengan biaya yang jauh lebih rendah. 
  • Teknologi Masa Depan: Mengembangkan kapal induk otonom berbasis drone, seperti yang diusulkan oleh beberapa pengamat, dapat menjadi solusi inovatif yang lebih fleksibel, efisien, dan sesuai dengan karakteristik perairan dangkal Indonesia. 
Pada akhirnya, keputusan untuk memiliki kapal induk harus didasari oleh kebutuhan operasional yang nyata, bukan semata-mata "gengsi". Investasi pada platform yang sudah terbukti efektif dan selaras dengan doktrin pertahanan kita adalah pilihan yang lebih tepat untuk menjaga kedaulatan maritim Indonesia di masa depan.

* Dikutip dari berbagai sumber

Posting Komentar