Biografi WR. Soepratman, Sang Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya

Konten [Tampil]
Mengenang riwayat hidup seorang W.R.' Soepratman, komponis pemegang anugerah Bintang Mahaputera Kelas III dan Pahlawan Nasional, bukan saja sekedar mengenang seorang ahli musik secara pribadi, melainkan juga mengenang sekaligus menyegarkan ingatan akan kebangkitan bangsa menuju kemerdekaan. Sebab, almarhum W.R. Soepratman adalah seorang figur sejarah, yang jasanya dengan menggubah lagu kebangsaan telah terbukti menjadi bagian dari catatan penting dari keseluruhan sejarah perjuangan bangsa kita.

Biografi WR. Soepratman pencipta lagu Indonesia Raya
Patung sang komponis, sang pencipta lagu Indonesia Raya, foto via tripadvisor


Boleh jadi tak ada seorang pun yang tidak mengenal W.R. Soepratman. Dia adalah seorang komponis yang telah dengan cemerlang meneteskan cairan tinta emas dalam catatan sejarah kita. Dia adalah penggubah lagu kebangsaan Indonesia Raya, lagu yang sejak 1928 mengantar bangsa dan tanah airnya menelusuri jejak kehidupannya. Namun, adakah sejarah hidup komponis abadi itu sudah dikenal oleh masyarakat luas.

lnilah kisah hidup sang komponis abadi itu;

Berawal dari kehidupan keluarga Singoprono, seorang petani miskin yang tinggal di Desa Somangari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo. Desa yang terletak cukup terpencil dan hanya dapat dihubungkan dengan jalan setapak (saat itu). jaraknya dari pusat kota sekitar 11,5 kilometer.

Pasangan suami istri Singoprono itu hidup sederhana dan bahagia. dikaruniai tiga orang anak, masing-masing Sembul, Seno, dan Senen.

Tahun 1880, ketika gadis Senen, anak bungsu Singoprono, berusia tujuh tahun, kedua orang tuanya meninggal dunia. Ditinggal kedua orang tua bagi ketiga anak itu merupakan pukulan berat, sehingga mengakibatkan mereka hidup terpisah-pisah. Oleh seorang tetangga yang baik hati, Wongsodjumono, gadis Senen dititipkan kepada keluarga Atmosentono, seorang opas (Polisi pangreh praja) penduduk dukuh Tirtodranan Desa Sindurjan Purworejo. Namun ketika menginjak usia menjelang dewasa, Senen kembali ke desanya bergabung dengan kedua saudaranya.

Untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, Senen yang sudah dewasa itu berjualan barang hasil bumi berupa melinjo, baik ke Kota Purworejo maupun ke pasar Godean, Yogyakarta. Barangkali karena kecantikannya, gadis Senen akhirnya dikenal banyak lelaki. Maka akhirnya seorang serdadu KNIL Belanda berpangkat kopral, Kartodikromo, jatuh cinta dan berakhir dengan perkawinan

Lahirnya sang komponis 

Kartodikromo berdinas di Cimahi, Jawa Barat. Sesudah secara resmi kawin dengan Senen, keduanya pindah ke termpat tugas itu. Dari hasil perkawinan gadis Senen dan Kartodikromo berbuah tiga orang puteri, yaitu Soepartijah, Soepartinah dan Soepartijem. Namun musibah rupanya tak memandang saat datangnya. Pada saat Senen mengandung benih Kartodikromo, keduanya bercerai dan Senen kembali ke Somangari. Di Desa Somangari inilah anak keempat Senen lahir, tepat pada hari Kamis Wage 19 Maret 1903, di rumah kakaknya, Seno atau Suprono.

Anak laki-1aki tunggal keturunan Senen-Kartodikromo itu kemudian diberi nama Wage Soepratman, nama yang konon diberikan lantaran hari kelahirannya terhitung bertepatan dengan hari 19 Besar tahun Be (1832), windu sancaya wuku watu gunung.

Pada saat usia Wage mencapai empat bulan, ibunya membawa dia pergi menengok ketiga anaknya yang ikut ayahnya. Kedatangan si kecil Wage rupanya membawa berkah bagi mereka, sebab pada akhirnya antara Senen dan Kartodikromo bersedia rukun kembali. Namun pada saat itu puteri Senen yang sulung, Soepartijah telah melangsungkan perkawinan dengan seorang Indo Belanda, yakni Willem Martinus Rudolf van Eldilk, seorang serdadu berpangkat sersan instruktur. Suami Soepartijah itu bertugas di Meester Cornelis (Sekarang bernama Jatinegara).

Karena perkawinan antara Soepartijah dan Willem tidak membuahkan anak, maka Wage diminta untuk dijadikan buah hati. Kepada Wage, suami istri itu memberi tambahan nama di tengah menjadi Wage Rudolf Soepratman. Dengan lantaran kisah ini pula yang pada akhirnya membuat para ahli sejarah berdebat tentang tempat kelahiran sang komponis. Sebab, ternyata secara resmi nama Wage Rudolf Soepratman tercatat sebagai anak kelahiran Jatinegara, yang terbukti di atas kertas catatan sipil dan dikuatkan dengan keputusan Pengadilan Negeri Surabaya.

Ketika tahun 1914, kakak yang sekaligus ayah angkat Wage berpindah tugas ke Makassar, dia ikut serta dan di tempat yang baru itu ia disekolahkan di Kursus Malam Belanda dan Normaal School.

Dari sekolah tersebut Wage memperoleh diploma Kleinambtenaar (Pegawai administrasi tingkat rendah) dan diangkat menjadi guru Sekolah Rakyat (SR) klas II, tahun 1920.

Soepartijah dikenal sebagai seorang musikus seniman yang sering membuat cerita-cerita tonil sandiwara). Bakat yang dimiliki kakaknya itu pula yang akhirnya memberi warna bagi kehidupan W.R. Soepratman kelak. Benar, pada akhirnya Si Wage berhasil menguasai permainan biola.

Tahun 1924 Wage kembali ke Jakarta dan terjun dalam dunia jurnalistik. Dia bergabung pada penerbitan surat kabar Sinpo dan aktif menulis tentang berbagai masalah, dengan initial S. Di tempat baru inilah Wage menemukan dirinya, menemukan kepribadiannya, setelah banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pejuang Indonesia waktu itu.

Proses penciptaan Lagu Indonesia Raya

Dua tahun kemudian, 1926, bakat komponis Wage dibuktikan dengan karya perdananya yakni lagu Dari Barat Sampai Ke Timur. Kemudian disusul dengan karya keduanya, yang diciptakan dalam tahun yang sama, yaitu lagu Indonesia (kelak lagu ini menjadi Indonesia Raya). Namun ketika Wage tengah dalam ketekunannya menggubah lagu tersebut, dia mengalami kemandegan. Konon, dalam penyusunan lirik lagunya, Wage mengalami kesukaran, sehingga memaksa lelaki itu memboyong dirinya pergi ke tempat yang sepi. Di Desa Somangari itulah dia memperoleh ilham untuk merampungkan lirik-lirik lagunya.

Dua tahun kemudian, pada tanggal 28 Oktober 1928, di Jakarta mulai berlangsung Kongres Pemuda. Pada hari ketiga kongres, Wage menawarkan buah karyanya kepada pimpinan sidang untuk dialunkan di tengah-tengah forum. Sejak detik itulah lagu kebangsaan Indonesia Raya gubahan W.R. Soepratman menjadi milik bangsa Indonesia.

WR. Soepratman meninggal dunia

Pada tahun 1936 Wage berkunjung kembali ke Desa Somangari. Beberapa saksi yang pada tahun 1983 diwawancarai, Humas Pemda membenarkan akan kisah tadi. Dari Somangari, Wage kembali ke Surabaya, dan tepat pada tanggal 17 Agustus 1938 sekitar pukul 23.00 WIB, pejuang itu menghembuskan nafas terakhir.

Sebuah perempatan jalan di pusat Kota Purworejo, sejak tahun· 1983 berdiri tegak sebuah monumen W.R. Soepratman. Monumen yang dibangun dengan biaya sebesar Rp. 7 juta rupiah pada saat itu tingginya hanya tiga meter. W.R. Soepratman digambarkan sedang berdiri tegak , dengan tangan kiri memegang biola dan tangan kanan menunjuk ke Desa Somangari, tanah kelahiran komponis abadi itu .
Namun sayang, kebesaran namanya tak sebanding dengan kemegahan monumennya di Purworejo . Dengan biaya Rp. 7 juta, monumen tersebut di samping kurang anggun, juga dibuat tanpa corak seni yang berkualitas. Agaknya Pemda setempat bisa memikirkan kembali untuk membangun kembali monumen tersebut, sehingga kemegahan monumen sebanding dengan kebesaran dan keharuman W.R. Soepratman.

Versi lain tentang tempat kelahiran W.R. Soepratman menunjukkan bahwa W.R. Soepratman dilahirkan di Jatinegara, yang didukung oleh Surat Akte Kelahiran. Sementara pihak lain meragukan keabsahan surat akte kelahiran itu dan mengatakan bahwa W.R. Soepratman dilahirkan di desa Somangari.


Sumber: Kasmadi, Hartono and Sugito, AT. and Wijono, Wijono and Slamet, Slamet (1986) Monumen perjuangan Jawa Tengah. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Jakarta.

Baca juga:
Biografi dan Sejarah Perjuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak