Sejarah Perjuangan Rakyat Surakarta; Pembentukan TKR di Solo

Konten [Tampil]

Pembentukan TKR di Solo

Pada awal pembentukan TKR di Solo, tercatat dua nama yang diajukan sebagai Komandan Divisi, yaitu KoIonel Sutarto dan Pangeran Purbonegoro. Kemudian Pangeran Purbonegoro mengundurkan diri dengan hati besar dan ikhlas dan Kolonel Sutarto diangkat menjadi komandan.

Pembentukan TKR di Solo
Pasukan TKR dalam sebuah kesempatan, foto via IPPHOS

Setelah TKR terbentuk maka Tentara dari Solo makin mantap dan ikut aktif membela negara. Hal ini nampak dengan pengiriman pasukan Solo untuk membantu Pertempuran 5 hari di Semarang, pertempuran di Magelang dan Ambarawa.

Saat itu muncullah laskar-laskar BPRI, Buruh Indonesia, Laskar Merah, Gajah Mada, Alap-alap, AMRI dan lain-lain di daerah Solo sehingga gerakan untuk mempertahankan negara R.I. yang baru berdiri semakin mantap.

Dengan adanya perubahan nama Tentara Keamanan Rakyat menjadi Tentara Keselamatan Rakyat dan diubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia dan akhirnya menjadi TNI pada tanggal 5 Mei 1947, maka terjadi pulalah perubahan Divisi X TKR menjadi Divisi IV TRI dan akhirnya terkenal dengan nama Divisi Panembahan Senopati.

Pada bulan Agustus 1947, mengingat daerah Surakarta merupakan daerah yang langsung berhadapan dengan musuh, telah dijadikan Daerah Militer lstimewa dengan Gubernur Militer Wahono. Pada saat itu pula Solo menerima tentara hijrah dari Siliwangi.

Pada waktu terjadi Reorganisasi dan Rasionalisasi tahun 1948, Divisi Panembahan Senopati telah berusaha mengundur ReRa tersebut. Di Solo telah terjadi pertentangan dan permusuhan. Permusuhan semakin memuncak dan terjadilah tembak-menembak yang mengakibatkan Letkol Marjuki tewas, karena terpengaruh oleh anarkisme.

Adanya Re-Ra yang berdasarkan atas UU I 948 No. 3 Divisi IV dijadikan kesatuan dengan nama Brigade II yang berdiri sendiri dan langsung di bawah Komandan AP yang terdiri atas satuan-satuan AD, lasykar dan TL RI. Divisi IV dijadikan Komando Pertempuran Panembahan Senopati. Suasana masih agak panas, tetapi dengan adanya perintah harian Panglima Sudirman, keadaan dapat diatasi dengan baik.

Belum lama reda perselisihan dan pertentangan terjadidi  Solo, tidak lama kemudian meletus Pemberontakan PKI Muso dan Amir Syarifudin yang menyebabkan daerah Solo menjadi ajang pertempuran pula. Pada tanggal 18 September 1948 terjadi tragedi nasional di Madiun.

PKI telah mengadakan perebutan kekuasaan untuk mendirikan pemerintahan komunis di Indonesia. Kekejaman-kekejaman PKI terjadi di sekitar daerah Solo dan Wonogiri. Banyak pamong praja dan rakyat yang menjadi korban, dibunuh secara kejam.

Untuk mengatasi pemberontakan PKI, Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto selaku Komandan Daerah Militer untuk karesidenan Semarang, Pati, Surakarta dan Madiun telah bergerak dengan cepat untuk memadamkan dan menumpas pemberontakan.

Pada tanggal 30 September 1948 TNI berhasil melumpuhkan pemberontakan PKI, dan Muso ditembak di daerah Ponorogo.


Bersambung ke:
Menghadapi Agresi Belanda Ke-II.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak