Biografi dan Sejarah Perjuangan Mayor Jendral Bambang Sugeng Dalam Rangkaian Perang Kemerdekaan Indonesia

Konten [Tampil]
Bambang Sugeng dilahirkan tanggal 31 Oktober 1913 dari suami isteri Bapak Slamet dan lbu Zahrodi, Tegalrejo, Magelang, merupakan anak sulung dari enam bersaudara. Menikah dengan gadis Sukemi di Yogyakarta. Karena sakit paru-paru, isterinya meninggal dunia pada tahun 1946 dengan meninggalkan tiga orang anak.

Kemudian pada saat bergerilya di daerah Banyumas dalam Perang Kemerdekaan ke-1 beliau menikah lagi dengan Istijah, putera Wedono Banjarnegara dan sampai dengan wafatnya beliau meninggalkan putera tujuh orang.

Sejarah Perjuangan Mayor Jendral Bambang Sugeng
Monumen Bambang Sugeng, foto via kaskus

Riwayat Pendidikan Mayor Jendral Bambang Sugeng

Selesai dan lulus HIS (Sekolah Dasar) Purwakarta, kemudian menyelesaikan pendidikan di MULO Purwokerto dan melanjutkan pada AMS bagian A di Yogyakarta, lulus Jurusan Sastra Barat. Kemudian melanjutkan lagi di Perguruan Tinggi Ilmu Hukum (RHS) di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai karena harus bekerja di Temanggung. Sebagai Tentara Pembela Tanah Air (PETA), Mayor Jendral Bambang Sugeng telah mengikuti pendidikan kemiliteran di Bogor.

Riwayat Perjuangan Mayor Jendral Bambang Sugeng

Pendidikan llmu Hukum belum selesai ditempuh Bambang Sugeng kembali dan bekerja di Temanggung guna membantu pembiayaan sekolah adik-.adiknya. Di Temanggung bekerja sebagai Juru Tulis Kabupaten.


Di masa pendudukan Jepang, tahun 1942, Bambang Sugeng masuk Tentara Pembela Tanah Air (PETA) sebagai Chuudanchoo pada Dai II Daidan (Batalyon II) bermarkas di Magelang dengan pembantu-pembantu antara lain Achmad Yani, Sarwo Edhy, Mariadi dan Suryosumpeno.

Dari Magelang, Bambang Sugeng diangkat menjadi Dai Danchoo Dai I Daidan (Komandan Batalyon) Gombong dengan pembantu-pembantunya antara lain: Sarbini, Srihardoyo, Bambang Wijanarko, Sudarsin, Suwito Haryoko, Suyoto, Sri Soewarno, Bintoro dan Kusen.

Pada tahun 1945, Bambang Sugeng kembali ke Temanggung membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) untuk daerah Temanggung dan Wonosobo. Perkembangan selanjutnya, membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebanyak 4 (empat) Batalyon : 
Bambang Sugeng dengan pangkat Letnan Kolonel diangkat sebagai Komandan Resimen pembentukan BKR yang kemudian berkembang rnenjadi TKR sepenuhnya merupakan usaha dan inisiatif Bambang Sugeng.

Di masa kepemimpinan Beliau menangani perlucutan senjata Tentara Jepang sejumlah 553 orang bagian dari Nakamura Kido Butai yang dalam siasat pemusatan kekuatan dan dukungan pada pasukan tempurnya telah membangun kubu logistik di Temanggting dan sekitarnya.

Perlucutan senjata Pasukan Jepang tersebut di atas tercatat sebagai peristiwa sejarah perjuangan yang terpuji. Bambang Sugeng memperlakukan semua tawanannya dengan baik, secara kemanusiaan sesuai dengan Konvensi Jenewa tentang perlakuan terhadap tawanan perang.

Bala tentara Jepang di bawah pimpinan Mayor Migaki yang tertawan di Temanggung ditempatkan dalam 3 (tiga) lokasi kamp tawanan, diberikan kebebasan bergerak di dalam batas lingkungan kamp yang bersangkutan. Perlakuan tersebut sangat berkesan di hati prajurit-prajurit Jepang tadi sehingga mereka atas kemauannya sendiri pada waktu pembebasannya mempersembahkan sebuah prasasti batu berukir kata-kata "Seloeroeh Doenia Sekeloearga 1877" (Tahun Saka) berikut tulisan huruf kanji dalam bahasa Jepang. Batu tersebut sekarang berada di monumen ini.

Selain itu, Beliau juga menerima dan merawat orang-orang Belanda (wanita, anak-anak dan orang tua) bekas interniran Jepang, menjadi interniran Pemerintah R. I. di Temanggung dan Wonosobo sampai mereka diserahkan pada Sekutu.

Salah satu tugas mulia yang pernah diemban beliau adalah melaksanakan pengumpulan padi untuk India yang sedang dilanda kelaparan dan pelaksanaannya melebihi target yang ditentukan untuk daerah Resimennya.

Selanjutnya Bambang Sugeng berpindah markas di Wonosobo terus dipindahkan ke Purwokerto menjadi Kepala Staf menggantikan Gatot Subroto. Tercatat kepemimpinan beliau dalam pemberantasan laskar-laskar liar di daerah Cirebon, serta selama bergerilya di daerah Banyumas dan sekitarnya dalam Perang Kemerdekaan ke-1.

Menjelang Perang Kemerdekaan ke-2 dalam proses rasionalisasi, Bambang Sugeng dikukuhkan menjadi Panglima Divisi sekaligus Panglima Teritorial dengan wilayah Banyumas, Pekalongan, Kedu, Yogyakarta dan Semarang, berkedudukan di Magelang, dengan pangkat Kolonel.

Peristiwa terpenting yang tercatat adalah pendukung keputusan Serangan Oemoem 1 Maret I 949 yang dilaksanakan oleh Letkol. Soeharto dengan pasukannya ( Mantan presiden R.I.) salah satu komandan satuan yang dinilai paling berani dan terpercaya. Bambang Sugeng sendiri selanjutnya memimpin gerilya dari pedalaman, yaitu dari pegunungan Menoreh dan lereng Sumbing.

Pengabdian Mayor Jendral Bambang Sugeng Setelah Perang

Selesai Perang Kemerdekaan ke-2, Bambang Sugeng diangkat menjadi Kepala Staf Urnum I Markas Besar Angkatan Darat, mendampingi Abdul Haris Nasution, selaku Panglima Staf Komando Angkatan Darat. Kemudian Bambang Sugeng dikukuhkan sebagai Panglima. Komandan Daerah Militer Brawijaya dengan tugas utama mengamankan Jawa Timur dari anarkisme kekacauan sesudah penyerahan kedaulatan.

Tanggal 17 Oktober 1952 Beliau diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat dengan pangkat jenderal mayor.

Tanggal 24 Pebruari 1955 Beliau memprakarsai Sumpah Keutuhan Kembali Angkatan Darat di depan makam Jenderal Soedirman. Salah satu langkah administratip yang penting yang diambil adalah pemberian Nomor ·registrasi prajurit TNI (NRP),  Bambang Sugeng sendiri. tercatat dengan NRP. 10001.

Pada saat menjabat sebagai duta besar R.I. di Vatikan, Roma, Sri Paus menganugerahkan Bintang Vatikan tertinggi kepada Presiden Soekarno dan Bambang Sugeng mendapat Bintang Kepapaan. Pada saat itu pula beliau berperan menentukan dalam penyelamatan berbagai kapal pesanan ALRI dari perampasan pihak pendukung PRRI/PERMESTA.

Pada saat menjabat sebagai duta besar R.I. di Jepang, dapat dicatat hasil-hasil sebagai berikut :
  1. Pelaksanaan Pampasan Perang; 
  2. Penggagalan berlabuhnya Kapal Perang Belanda Karel Doorman di Jepang dalam perjalanan ke Irian Barat. 
  3. Diplomasi terhadap Jepang agar memihak Indonesia dalam perjuangan Irian Barat. 

Tahun 1963 Beliau pindah tugas di Rio de Janeiro, Brazilia, sampai dengan tahun 1965.

Beliau wafat tahun 1977 dan atas permintaan sendiri tidak mau dimakamkan di Makam Pahlawan melainkan disemayamkan di tempat sederhana di tepi Sungai Progo dekat jembatan di selatan toko Temanggung, untuk menemani sekian ratus pemuda pejuang yang dibantai tentara Belanda sekitar tahun 1949.

Demikianlah Sejarah Perjuangan Mayor Jendral Bambang Sugeng Dalam Rangkaian Perang Kemerdekaan Indonesia, semoga kita dapat meneladani sifat ksatria Beliau dan meneruskan perjuangannya di era milenial saat ini.


Sumber: Kasmadi, Hartono and Sugito, AT. and Wijono, Wijono and Slamet, Slamet (1986) Monumen perjuangan Jawa Tengah. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Jakarta

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak